7. Hari Jadi Garda Untuk PATRIA

7 7 0
                                    

'PATRIA, Pantang Menyerah Jiwa Sang Kesatria!'

.

.

.

---

'Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Jika jatuh, maka kamu akan jatuh di antara bintang-bintang'

Spanduk besar itu terbentang di jalan-jalan masuk menuju gedung megah SMA Adhigana. Yuga yang pertama kali menyadari spanduk itu sudah terpasang sejak pagi tak kunjung beralih juga. Apa-apa yang menyangkut soal mimpi dan cita-cita, Yuga selalu tertarik membayangkannya. Ya, membayangkan. Sesuatu yang jauh lebih indah dari realita.

Tapi, jangan salah. Kata orang, segala bentuk mimpi awalnya juga dari membayangkan. Dan bagusnya lagi, kegiatan membayangkan sedikit banyak telah memberikan kesempatan agar alam bawah sadar bisa ikut untuk bicara.

"Sering-sering kalau punya cita-cita tinggi terus jatuh, sakit banget nggak, sih, Coy?" tanya Ramdan yang menyadari ke mana arah pandang Yuga, juga turut menikmati rangkaian tulisan yang terpampang itu dengan serius.

Mendengar pertanyaan Ramdan yang tertuju entah kepada siapa, mereka yang berada di lingkaran itu ikut memperhatikan arah pandang keduanya.

"Sakit, sih. Satu kegagalan buat orang nggak punya semacam gue akan sangat disayangkan," jawab Yuga lebih dulu, menyadari jika pertanyaan Ramdan memang untuk dirinya.

"Kalau orang kaya, gagal itu biasa dan bisa dicoba lagi. Tapi, buat orang nggak punya, satu kesempatan udah mengorbankan banyak hal yang nggak ada jaga-jaganya. Kalau gagal, ya belum tentu bisa coba lagi. Makanya, banyak orang memilih punya cita-cita sekadarnya aja," dukung Ammar sebagai seseorang yang merasa senasib dengan Yuga.

"Jadi, menurut kalian tulisan itu nggak benar?" Ramdan yang paling antusias dengan topik pembicaraan seperti ini sedang menangkap wajah-wajah pemikir teman-temannya. Lucu, berpikir berlebihan pada sesuatu yang jauh dan tidak bisa ditebak memang lucu, tetapi juga perlu.

"Nggak salah punya cita-cita tinggi, justru harus. Kalau jatuh juga nggak salah karena kita sebagai manusia cuma bisa punya harapan supaya hidup jadi punya kesan. Tapi, sebagian kalimat hadir hanya sebatas penenang," respons Juan.

Menurut Juan, jika harus gagal, manusia hanya perlu menjalani dan mencari cara untuk merelakan, lalu mengambil opsi lain lagi. Sebab, gagal bukan sebuah kesalahan. Seseorang juga tidak bisa menebak apa akhir dari cita-citanya. Tapi, tanpa cita-cita, hidup akan terasa kosong karena tidak sedang memperjuangkan apa-apa.

Ammar mengangguk setuju dengan pendapat Juan. Semua orang memang harus punya cita-cita, menjadi baik misalnya. Lebih dari itu, yang bisa buat orang senang dan merasa terbantu. Namun, segala sesuatu yang diimpikan selalu punya cara untuk dimenangkan.

"Kita juga butuh realistis juga, kan? Setidaknya, kita sebagai pemimpi benar-benar punya peluang berhasil dan gagal sama besar."

"Asal yakin." Yuga menanggapi ucapan Ammar. "Katanya, kalau yakin pasti semangat kita buat mencapai cita-cita akan lebih besar. Kalau nanti nggak yakin, jangan buru-buru mundur. Gue sebagai teman akan selalu dukung kalian. Sama-sama kita buat alumni PATRIA nanti adalah orang-orang hebat yang berhasil dengan mimpinya."

Yuga meyakinkan teman-temannya, bahwa semua manusia memang berhak untuk yakin dengan cita-citanya sendiri. Tak perlu melihat terlalu jauh ke depan untuk mengukur tingkat keberhasilan. Sebab bagi Yuga, keberhasilan itu terpatri pada keyakinan masing-masing orang.

Sampai di Ujung Harapan [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang