'Jadi apa pun, asal bermanfaat.'
.
.
.
---
"Gue mau jadi polisi!"
Lantang suara milik Ramdan Wibisana menggelegar setelah dirinya bercerita dalam kesenggangan waktu menuju pengibaran pagi. Sambil membusungkan dada, Ramdan merangkul Yuga secara paksa, membuat sang empunya berjengit kaget sebab terkesan tiba-tiba dirinya dihujani pertanyaan, "Gue polisi, lo apa?"
Yuga lebih dulu melepas rangkulan Ramdan yang amat menyiksanya itu, sebelum akhirnya menjawab, "Gue mau jadi TNI."
Ramdan tersenyum, lalu mengepalkan tangan dan menjulurkannya kepada Yuga, mengajaknya tos bersama. "Pemimpi kayak kita harus berjuang sama-sama," kata Ramdan.
"Ya, kita semua pemimpi dan harus berjuang sama-sama," sahut Juan mengulangi kalimat Ramdan, kemudian menunjuk ke semua orang yang tengah berkumpul dalam satu zona yang sama. "Nanti kalau udah jadi orang, jangan lupa, ya?"
Kedua sudut bibir Yuga terangkat. Kekhawatiran yang demikian sering ia dengar. Bersamaan dengan itu, muncul sebuah pertanyaan yang menuntut untuk dijawab. "Tapi, kalau ternyata nggak jadi orang, gimana?"
"Ya, nggak gimana-gimana. Tetap jangan saling lupa. Lagian, kita udah pasti berjuang. Kalau ternyata nggak jadi, ya nggak apa-apa. Namanya pemimpi pasti ada berhasil enggaknya. Tapi, bukan berarti gagal juga," sahut Juan menyampaikan pendapatnya.
"Betul itu, Coy. Lebih baik terus mencoba dan berjuang. Jangan terlalu cemas dulu sama hasilnya. Daripada menyesal gara-gara nggak pernah mencoba? Setidaknya kalau kita mencoba, masih ada dua kemungkinan antara berhasil atau gagal," dukung Ramdan, yang paling optimis di antara semuanya. "Lo sendiri mau jadi apa, Coy?" tembak Ramdan kepada Juan.
Juan tampak berpikir sejenak. Kemudian, sebuah jawaban terlintas di pikirannya. "Mau jadi apa pun, asal bermanfaat," katanya.
Namun, jawaban itu rupanya sungguh tak memuaskan bagi Ramdan. "Ya, apa? Yang spesifik gitu. Gimana lo mau fokus ngejar kalau cita-cita lo aja nggak jelas ke mana," bantah Ramdan, sedikit memaksa.
"Justru kalau terlalu spesifik, nanti nggak tercapai sakitnya bukan main, Bro. Kalau maknanya luas, masih bisa dicari yang lain," balas Juan.
Berbeda dengan Ramdan yang penuh ambisi, Juan memilih untuk membebaskan Tuhan berkecimpung dalam urusan cita-citanya. Ya, dia tidak seberani Ramdan atau setegas Yuga untuk berdiri tegak membanggakan mimpinya. Sebab, ia terlalu takut dengan kata 'kemungkinan'. Kemungkinan untuk gagal, kemungkinan untuk belum, kemungkinan untuk menyerah, dan banyak kemungkinan lain pada diksi yang berbeda.
Ammar yang mendengar perdebatan kecil itu mendekat, tertarik untuk ikut bicara. "Bebas sebenarnya kalian mau jadi apa. Asal jangan yang merugikan. Bener kata Juan, yang bawa manfaat."
Dalam sudut pandang Ammar, terkadang ambisi yang berlebihan cenderung menekan seseorang untuk berbuat apa saja demi mendapatkan pencapaiannya. Maka, kalimat Juan tadi bisa menjadi kunci agar selalu ingat jalan kebenaran. Bahwa jadi apa saja, asal banyak membawa manfaat.
Juan lantas berseru bangga, sebab Ammar si bijak itu terkesan memihaknya. "Tuh, kan, Ammar aja setuju sama gue," ucapnya senang, lalu mengajak Ammar untuk tos bersama.
"Bodo lah, yang penting gue nanti harus jadi polisi."
"Nggak harus, Dan." Yuga menyela.
"Lah, lo kok meragukan gitu, sih, Coy?" Ramdan mengernyit bingung. Sebab tidak biasa jika mimpinya ditentang. Selama ini, kebanyakan orang selalu mendukungnya dengan cita-cita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai di Ujung Harapan [On Going]
Teen Fiction"Apa arti kehidupan, jika tidak pernah ada cinta dan harapan." Yuga Naufal Angkasa, pemilik tawa bulan sabit dan sorot mata bak cahaya purnama yang kehilangan arti sebuah keluarga. Manusia sederhana yang menginginkan sebuah cita-cita yang diharapkan...