14. Wujud Dari Penerimaan

15 7 0
                                    

'Jangan hilang dan tiada. Sebab, masih banyak episode yang perlu dimenangkan.'

.

.

.

---

Pintu rumah yang terbuka pada malam itu berhasil membuat Yuga melancong ke luar. Entahlah, semenjak suara keras di dapur beberapa menit lalu, remaja laki-laki itu langsung menyabet sebuah jaket dan kunci motornya.

Urat leher Yuga yang mengurat menunjukkan seberapa marah dirinya kepada sosok laki-laki dewasa yang dengan tega menghina keluarga dan orang tuanya. Siapa lagi jika bukan Dika. Seakan memiliki dendam masa lalu, Dika berucap seolah-olah keluarga Yuga adalah manusia paling bejat di dunia ini. Lagian, tahu seberapa banyak Dika soal keluarga atau bahkan orang tuanya? Sedang Yuga saja bahkan tidak bisa mengenali mereka hingga saat ini.

Bentang rerumputan yang menghitam, juga bias cahaya beberapa lampu taman saat itu menghentikan laju kendaraan milik Yuga setelah lama ia berkendara. Dia memutuskan untuk menepi, lalu berjalan ke arah di mana dia bisa melihat luasnya hamparan langit malam ini.

Yuga meneriaki apa-apa saja yang tertahan. Bukan berlebihan, dia hanya mau menormalkan suasana hatinya.

Laki-laki pemilik sorot mata seperti cahaya purnama itu sebetulnya ingin sekali berkeluh seperti ini sejak kemarin-kemarin. Namun, mengingat pertemuan singkatnya dengan beberapa manusia lainnya, Yuga rasa dia tak berhak jadi yang paling mengeluh.

"Gimana? Udah lega?"

Suara itu, ah, siapa yang mencoba peduli?

"Ayo, teriak lagi."

Kali ini, munafik jika Yuga bersikap seolah tidak mendengar. Ia hembuskan napas kasar dan membalikkan badan, melihat sosok yang mengganggu kesendiriannya itu.

"Zann?"

Pupil Yuga membesar, terheran dengan kehadiran perempuan itu yang tiba-tiba begini. Segala jenis tanya memangku minta diberi penjelasan, yang salah satunya, mengapa jadi banyak sekali pertemuan?

Perempuan itu perlahan mendekat. "Maaf, ya, kalau gue ganggu privasi lo. Tapi, kayaknya emang sedang banyak kebetulan aja malam ini," ucapnya.

Entah benar atau tidak, tetapi Yuga agak sangsi dengan kata kebetulan.

Namun, ada yang berhasil mengalihkan fokusnya. Ya, senyum manis dan tatapannya yang lembut, seakan Yuga melihat sisi lain Zanna yang baru lagi.

"Gue suka jalan-jalan di sekitaran taman ini sama abang sepupu gue malam-malam. Dia sekomplek sama rumah gue. Eh, gue lihat motor lo, ternyata sama pemiliknya sekalian," jelas Zanna, perihal alasan yang membawanya ke tempat ini.

"Terus, sekarang abang lo ke mana?"

"Hm, ngeselin! Gue ditinggal pacaran, makanya gue jalan ke arah sini sendiri."

Zanna melintasi Yuga dan mengambil tempat untuk duduk di satu kursi tak terlalu luas dalam jangkauan mereka, begitu Yuga yang lamat-lamat juga mengikutinya.

"Sekarang cerita, ada masalah apa?" tanyanya, menawarkan sebuah ruang kosong untuk Yuga isi.

Namun, Yuga menolak, lebih tepatnya enggan memancing bahasan soal kehidupannya. "Biasa, ada aja yang jadi masalah."

"Lo lagi capek banget, ya? Jangan nyerah, ya, Yug? Lo termasuk yang jadi semangat buat gue." Mata Zanna berkaca-kaca saat mengatakannya. Sebab, diam-diam ia mencari tahu sedikit soal Yuga dari cerita mamanya yang notabene sering berlangganan di warung milik kakak Yuga.

Sampai di Ujung Harapan [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang