'Adhigana selalu menunggu penghuninya agar kembali lagi.'
.
.
.
---
"Selamat kembali lagi, Yuga Naufal Angkasa! Selamat untuk keberhasilannya!"
"Selamat bertemu lagi, Zann, setelah tugas berhasil selesai dengan baik." Yuga membalas sambutan kecil perempuan itu.
Perempuan berpita merah muda, begitu Yuga menyebutnya. Perempuan yang selalu memakai sesuatu berbau merah muda, juga akhir-akhir ini menjadikan Yuga semakin terbiasa dengan banyak ucapan selamatnya.
"Gimana? Gimana pengalaman lo jadi pembentang?" Pukulan kecil Zanna menggoda Yuga. Dia bangga, untuk hal hebat tentang laki-laki itu.
"Menyenangkan, Zann. Posisi itu membuat gue banyak belajar arti ketangguhan dan makna tanggung jawab."
Zanna membalas dengan senyum takjub. Yuga memang selalu bisa mengambil makna dari setiap hal kecil yang dia lakukan, rasakan, atau hanya sekadar melihatnya.
"Tugas dari Pak Danang menunggu. Tapi, beliau nggak jadi masuk hari ini," beri tahu Zanna, lalu menunjuk setumpuk lembar soal di meja guru.
"Nggak masuk?" tanya Yuga masih belum percaya.
Agak sangsi jika guru matematika bisa absen begini. Sependek pengetahuannya, hujan badai pun biasanya dihadang oleh seorang Pak Danang.
"Ketua kelas baru aja dari ruang guru buat ambil tugas dari Pak Danang. Beliau lagi ada workshop pagi ini."
Yuga ber-oh pelan, lantas meninggalkan Zanna begitu saja dan memilih duduk di bangkunya dengan segera.
Seolah bosan dengan suasana kelas, Zanna ikut menghampiri Yuga dan duduk pada bangku di sebelahnya, yang penghuninya sedang tidak ada.
Ia amati wajah berahang tegas yang kini berubah sawo matang. Lalu berganti pada matanya yang berbinar dan coklat terang. Dia indah dengan ciri khasnya yang tidak istimewa. Namun, ada yang lebih indah dari sekadar itu. Tawanya. Zanna selalu senang dengan tawanya. Tawa yang mampu melukiskan sebuah guratan bulan sabit yang orang-orang tidak punya.
"Zann, mau kerjain barengan nggak?"
Zanna terbelalak, menarik kembali atensinya dari proporsi wajah manis itu. Lantas, ia mengangguk antusias. "Iya, gue mau. Sama lo, apa aja gue mau."
Yuga tertegun sebentar. Energi perempuan itu selalu bisa membangkitkan senangnya.
Dengan semangat maksimal dan membara, Zanna langsung mengambil lembar soal dan peralatan menulisnya terburu-buru, tidak mau Yuga lama menunggu. Karin yang keheranan dengan sikap tiba-tiba Zanna itu hanya dibuat geleng-geleng setelah tahu jika Yuga alasan di baliknya.
Setelah sekitar tiga puluh menit perempuan itu fokus mengerjakan, Yuga melirik pekerjaan yang coba Zanna sembunyikan darinya. "Udah sampai mana?"
"Masih dua nomor yang selesai. Susah juga," keluh Zanna.
"Coba lihat sini punya lo."
Zanna memicing dan mendadak berteriak, "Lo mau nyontek, ya?!" sambil menutup lembar jawabannya menggunakan dua telapak tangan dengan sempurna.
Sontak, atensi seisi kelas jadi tertuju kepada keduanya. Suara Zanna itu paling nyaring, melengking, dan beberapa suara jelek jajarannya. Sampai-sampai sekelas sepakat menobatkan Zanna sebagai bendahara kelas. Kebayang kan gimana Zanna ketika menagih uang kas dengan suaranya yang mirip toa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai di Ujung Harapan [On Going]
Teen Fiction"Apa arti kehidupan, jika tidak pernah ada cinta dan harapan." Yuga Naufal Angkasa, pemilik tawa bulan sabit dan sorot mata bak cahaya purnama yang kehilangan arti sebuah keluarga. Manusia sederhana yang menginginkan sebuah cita-cita yang diharapkan...