'Tapi mau bagaimanapun, semua selalu ada masanya.'
.
.
.
---
Yuga menyenderkan tubuhnya pada kursi selepas berperang dengan dua soal maut Pak Danang. Beberapa tetesan keringat membanjiri pelipisnya sejak tiga puluh menit terakhir. Benar kata orang-orang, Pak Danang memang keterlaluan. Dalam waktu 10 menit, dua soal dengan jawaban hampir dua lembar penuh itu dipaksa harus tamat.
"Yuga Naufal?"
Yuga kembali menegakkan tubuhnya begitu Pak Danang memanggilnya. "Iya, Pak?"
Pak Danang sedikit menurunkan kacamatanya, tampak melirik ke arah Yuga dan membuka lembaran-lembaran di tangannya bergantian. "Skor 80."
Sontak, suara tepuk tangan memadati seisi kelas. Sedangkan Yuga masih pada posisinya, diam, datar, dan bingung harus merespons bagaimana.
"Kamu tahu skor tertinggi kelas ini di post test pertama?"
Yuga menggeleng.
"40. Ya, hanya 40." Pak Danang lalu merapikan kumpulan kertas-kertas di mejanya, lantas mengedar pada seluruh siswa di kelas itu.
"Untuk perbaikan ke depan, saya rasa ada yang mumpuni di sini. Yuga bisa jadi mentor kalian. Saya tunggu perkembangannya," pungkas Pak Danang, sebelum kelas dimulai.
Sedang yang mendengar, tentu tak acuh. Mau seburuk apa pun nilai matematika mereka, itu tak akan mengubah kemalasan yang sudah mendarah daging, sehingga Yuga tidak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga untuk mengajari mereka.
Hiruk pikuk jam istirahat pertama dimulai tepat selesai pembelajaran matematika dan sejarah. Berakhirnya kedua mata pelajaran yang saling bertolak belakang itu memaksa Yuga menjawab pertanyaan teman-temannya yang seolah sedang mewawancarainya karena skor matematika yang diumumkan pagi tadi.
"Bukan apa-apa, tapi otak lo kayaknya lebih cocok jadi anak IPA. Kenapa lo nyasar ke sini?" tanya Bagas, cowok body kerempeng itu menyelidik.
Yuga menyemburkan napas jengah, mendengar pertanyaan yang sama berulang-ulang. "Bukannya jurusan itu sesuai minat?" balasnya kemudian.
Dan yang lainnya langsung menerima. Memang pada anggapan yang seharusnya, memilih selalu jadi hal sulit antara keinginan atau kemampuan. Lalu, Yuga datang membawa jawabannya.
Setelah menjawab todongan berbagai macam pertanyaan, suasana kelas kembali seperti pasar malam. Rusuh. Ada yang berteriak maling, aneka ragam nama binatang, dan berbagai jenis umpatan lainnya, membuat Yuga merasa ingin keluar saja.
Jam-jam seperti ini memang sering kali menjadi masa paling menyenangkan dalam kisah remaja mereka. Namun, pada sisi berbeda, Yuga tak sengaja menatap ke arah pintu yang terbuka, menampilkan kedatangan salah satu anak kelas dua belas bernama Tama. Ya, Yuga mendengar nama itu dari salah satu temannya yang memekik girang dan menyebut-nyebut nama Tama.
"Kak Tama!"
Yuga melihat perempuan itu, perempuan berpita merah muda yang ia panggil Zanna tengah menghambur ke dalam pelukan Tama.
"Kak Tama udah sarapan?" tanya Zanna, yang terdengar sengaja mengimutkan suaranya.
Tama terlihat mengangguk, lalu bergelayut manja di lengan Zanna. "Sarapan udah, sayang sama kamu juga udah, tiap hari malah," balasnya sambil mengusap puncak kepala Zanna.
Sontak anak-anak yang berada di kelas asyik bersorak dan menggoda keduanya.
Sedang Yuga, ia memilih membuang muka ke arah lain agar matanya tidak lagi ternodai dengan drama percintaan kedua anak SMA tersebut.
Cinta. Yuga hampir tertawa saat mengulang kata itu di bibir ranumnya. Satu kata yang ia tidak pernah berhasil mendefinisikan dan mencari maknanya. Yang Yuga kenal, cinta itu sementara, mudah datang dan pergi kapan saja, rumit, dan sulit dipahami maunya.
Bahkan, cinta yang dulu Yuga dapat pun sudah pergi. Cinta orang tua, nenek, dan kakak yang ia miliki sudah lama hilang darinya. Lalu, untuk apa lagi percaya dengan kata itu? Apalagi dari orang lain?
Jelasnya, menurut Yuga jika berani merasakan cinta, juga harus berani sakit karenanya. Tanpa Yuga sadari, itulah hukum kehidupan. Apa-apa yang membahagiakan sudah pasti akan hilang pada waktu yang telah ditetapkan. Bukan begitu?
Beberapa waktu yang Yuga lewatkan dengan membaca sebuah buku bersampul biru muda tidak terasa berlangsung hingga bel masuk kembali berbunyi. Sekilas, Yuga melihat Zanna yang tampak enggan berpisah dari Tama. Untuk sesuatu yang membahagiakan, sebagian besar populasi manusia tak akan mau melepaskannya. Tapi mau bagaimanapun, semua selalu ada masanya, harus ada masanya.
"Yuga, lo suka baca novel juga?"
Beberapa detik setelah Yuga kembali fokus membaca, perempuan itu tiba-tiba sudah ada di depannya. Cepat sekali pergerakannya.
Yuga lantas menurunkan buku bersampul biru muda itu, sedikit memperlihatkan isi tulisan di dalam. "Tergantung."
"Tergantung apa?"
"Esensinya."
Zanna lantas beralih duduk di sebelah Yuga, dengan sesuatu yang ia bawa menggunakan kedua tangan yang saling bertaut. "Kalau novel yang lo baca ini, esensinya apa?"
Yuga melirik buku itu sebentar. "Ini tentang perjuangan, Zann, tentang tokoh utama yang selalu berjuang buat mimpinya, dan buat semua hal baik dari dunia. Ngomong-ngomong, ini karya salah satu alumni kita, dan gue sangat menghargai karya orang-orang yang dekat."
Mendadak, dua donat dengan toping berwarna merah muda dan ceres meises warna-warni bertengger di meja, membuat Yuga tampak terkejut.
"Bacanya sambil makan, ya? Dari tadi lo fokus baca, sampai lupa makan gitu."
Yuga membeo, menatap lekat dua donat krim strawberry itu dengan seksama. "Lo perhatiin gue banget?"
"Anggap aja sebagai tanda perkenalan."
Suara decitan kursi terdengar bersamaan dengan perempuan itu yang sudah bangkit dari duduknya. Aroma strawberry yang khas semerbak, disambung oleh senyum manisnya yang sedikit banyak telah menularkan suasana senang dalam sudut pandang Yuga.
"Jangan lupa makan, Yuga. Bu Darma biasanya telat masuk kelas, kok," kata Zanna, lalu meninggalkan meja Yuga riang.
Dari balik tubuh mungilnya, Yuga tersenyum menyaksikan langkah ceria milik perempuan itu. Caranya berjalan yang seakan-akan terdapat sebuah pir dalam alas flat shoes hitam miliknya, juga rambut hitam mengkilap sepinggang yang seolah turut menari ketika perempuan itu melangkah. Semua tentangnya, adalah perihal senang. Yuga merasakannya.
"Zanna!"
Perempuan itu menoleh. Alis tipis dan dahi kecilnya mengkerut.
"Terima kasih lagi untuk hal baiknya!"
Zanna tersenyum sebagai jawaban. Dalam riuhnya keadaan, tidak ada yang menyadari akan interaksi kedua manusia itu.
Kecuali, satu orang yang pelan-pelan tampak memalingkan muka, lalu menunduk dalam-dalam.
"Lo, selalu menang, Zann."
Next...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai di Ujung Harapan [On Going]
Teen Fiction"Apa arti kehidupan, jika tidak pernah ada cinta dan harapan." Yuga Naufal Angkasa, pemilik tawa bulan sabit dan sorot mata bak cahaya purnama yang kehilangan arti sebuah keluarga. Manusia sederhana yang menginginkan sebuah cita-cita yang diharapkan...