8. Tawa Bulan Sabit Dan Cahaya Purnama

5 5 2
                                    

'Senyumnya banyak, tetapi tertawanya yang sedikit.'

.

.

.

---

Saat langit jatuh dalam keheningan, yang tersisa adalah tenang. Saat batas senja memisahkan dua waktu sekaligus, yang membekas adalah makna magis perihal kekecewaan manusia yang patut diredam sejenak, untuk kemudian berganti menjadi pembuktian dari rencana Tuhan. Namun, untuk meredamnya manusia kadang perlu untuk letih. Katanya, supaya rehatnya jadi lebih nikmat.

Sore ini, sebuah tempat kecil dengan tulisan 'baraka' terpampang di bagian depan itu terlihat sepi dari biasanya. Namun, satu orang laki-laki dewasa tampak masih sibuk bekerja di sana.

"Antarkan pesanan-pesanan ini dan cepat kembali." Dika meletakkan beberapa tumpukkan nasi kotak di atas meja saat melihat Yuga tiba masih dengan pakaian latihannya.

Sesaat setelahnya, Yuga mengantar pesanan itu berbekal alamat yang diberikan Dika. Vespa kesayangannya yang menemaninya membelah jalanan kota, dalam sekotak senja pada langit yang menjingga.

Ini pekerjaan yang menyenangkan bagi Yuga. Sejenak, ia bisa rasakan istirahat dengan berkendara sendirian, bercengkerama dengan isi pikiran, dan menikmati suasana yang Tuhan sediakan.

Ya, dalam bentuk sedih dan kekecewaan apa pun, manusia hanya bisa melakukan penerimaan. Meskipun banyak sekali anggapan buruk di luar sana, manusia hanya punya diri sendiri yang harus terus peduli. Maka, yang Yuga selalu lakukan adalah menemukan bahagia dalam secercah kesempatan yang sederhana.

Tidak butuh waktu lama untuk Yuga sampai di tempat tujuan. Sekitar lima belas menit, ia tiba di salah satu rumah tanpa pagar dengan sebuah taman kecil di depannya.

Yuga turun dari Vespa kepunyaannya, lalu mulai memasuki halaman rumah itu. Berulangkali ia memencet bel sambil sesekali mengucap salam, tetapi masih tidak ada jawaban. Hingga akhirnya, terdengar satu sahutan dari dalam sana, yang kedengarannya bukan dari seorang wanita paruh baya seperti dari cerita Dika.

"Yuga?"

Mendengar namanya dipanggil, Yuga lantas menegakkan pandangan. Ia membeo, mendapati pintu sudah terbuka dan menampilkan seorang perempuan dengan sweter merah muda yang menyambutnya.

"Zanna?"

Keduanya sama-sama terpaku memandangi satu sama lain. Bertemu kembali dalam satu waktu yang tak mereka rencanakan adalah satu kebetulan yang menguntungkan. Dan lihatlah, alangkah indahnya senja sore ini yang menjadi waktu pertemuan dua manusia yang rupa-rupa baru mengatakan kalimat 'sampai jumpa' beberapa waktu lalu.

"Hai!" sapa Zanna, melambaikan tangannya untuk mengatasi kecanggungan di antara mereka. "Jadi, sampai jumpanya nggak jadi buat setelah 17 Agustus, ya?"

Zanna lalu tertawa, yang membuat Yuga terlena memandanginya. Tawa itu indah, entah apa yang lucu sehingga perempuan itu perlu tertawa.

"Mau mengantar ini, pesanan atas nama Ibu Ratna," ucap Yuga, menolak basa-basi.

"Oh, mama baru pulang dari luar kota dan ngadain acara kecil-kecilan di rumah," cerita Zanna tanpa diminta. Setelahnya, ia memanggil seseorang untuk membawa nasi kotak yang cukup banyak itu masuk ke dalam. "Yuga kerja?" tanya Zanna bersikap ramah.

"Bantu-bantu kakak dikit."

Zanna ber-oh pelan. "Keren, cowok pekerja keras namanya," ungkap Zanna kagum, sembari mengacungkan kedua jempolnya ke arah Yuga.

Sampai di Ujung Harapan [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang