'Meski sulit untuk jadi baik, tetap tidak ada ruginya.'
.
.
.
---
Pada masa yang memberikan banyak sekali macam rasa, beberapa terdengar sedang mengeluh hari ini. Beberapa mengatakannya, tetapi sebagian memilih untuk tetap menyembunyikannya.
Rasa-rasa rona jingga pada September kala itu beri kesan manis untuk sebuah pertemuan dua manusia yang banyak bedanya. Namun, salah satunya berhasil jadi yang paling merasa.
"Lo melihat diri lo dari mata mereka?"
Pertanyaan itu terlontar dari laki-laki dengan sorot matanya yang seindah pancaran purnama, saat Zanna tiba-tiba keluar dari perpustakaan karena mendengar bisik-bisik tentang dirinya, dan laki-laki itu menyusulnya.
"Mau seberapa pun pembuktian yang lo buat, itu nggak akan mengubah pandangan mereka, Zann. Pembenci tetap pembenci. Mereka nggak akan pernah percaya dan orang yang sayang sama lo nggak butuh pembuktian itu."
Guratan tanda kecemasan terpampang jelas pada wajahnya yang dulu kuning langsat dan kini telah berubah sawo matang. Zanna menatapnya dalam sekali, seolah berada pada dimensi yang hanya ada mereka berdua.
"Mereka hanya menyimpulkan dari yang mereka lihat," keluh Zanna.
Kesalahpahaman kapan lalu soal Tama yang ribut dengan teman sekelasnya bernama Ergo cukup menggemparkan siswa kelas atas. Sering-sering, mereka meneriaki Zanna sebagai penyebab renggangnya hubungan pertemanan antara Ergo dan Tama, karena memang Zanna lah yang dibahas dalam perkelahian itu. Akibatnya, banyak yang membenci Zanna dengan berbagai macam spekulasi yang mereka buat sendiri.
"Nama gue jadi jelek dan sekarang banyak yang benci," keluh Zanna sekali lagi.
Maklum, siapa yang mau jadi bahan gibahan kelas 12 di awal masuk sebagai siswa SMA begini.
Desir angin di koridor sore itu menerbangkan sejumput rambut Zanna hingga terlihat berantakan, seberantakan hatinya. Meski tampak tegar, tetapi mata almondnya menyiratkan bekas selaput bening yang bukan berpura-pura.
Lantas, Yuga mengikis jaraknya dengan perempuan itu. Ia rapikan rambut depannya, yang dirinya juga berharap akan bisa merapikan hatinya pula.
"Orang-orang sering menggunakan mata sebagai jalan untuk membuat keputusan, Zann. Kalau mau tenang, jangan fokus sama yang nggak suka, karena masih banyak yang sayang," ucap Yuga, pelan namun seakan berirama di telinga Zanna.
"Termasuk lo?"
Saat itu, Yuga tidak langsung menjawab. Timbul beberapa keraguan perihal kalimat terakhir yang dirinya sampaikan. Apa memang ia salah satunya?
"Ya, termasuk gue," jawabnya, berakhir cepat dan lugas.
Zanna tersenyum, dan pada saat yang sama indera milik Yuga terasa lumpuh ketika melihatnya. Itu terlalu indah, seperti rasa-rasa rona senja yang hadirkan semilir angin yang jauh lebih sejuk dari hari biasa.
"Lo lebih peduli daripada Karin sama Bagas yang sahabat gue. Tapi, lo melakukannya atas dasar teman, kan?"
Yuga mengangguk. Tentu, itu alasannya. Dan harus itu alasannya.
"Lo selalu baik untuk ukuran manusia, Yuga. Bahkan, lo selalu mau gue repotin, mau terus temenin gue. Lo nggak capek, ya, banyak peduli?"
"Tuhan menghadirkan manusia yang butuh pertolongan ke hidup seseorang, tandanya Tuhan kasih kesempatan orang itu untuk berbuat baik, untuk dapat ganjaran yang banyak. Dia beruntung karena jadi orang pilihan Tuhan untuk ganjaran-ganjaran itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai di Ujung Harapan [On Going]
Teen Fiction"Apa arti kehidupan, jika tidak pernah ada cinta dan harapan." Yuga Naufal Angkasa, pemilik tawa bulan sabit dan sorot mata bak cahaya purnama yang kehilangan arti sebuah keluarga. Manusia sederhana yang menginginkan sebuah cita-cita yang diharapkan...