Sore ini aku ikut bersama pak Zain turun ke lapangan untuk checklist struktur yang malam nanti akan di cor. Banyak hal yang dapat dipelajari di lapangan yang tentu saja tidak bisa aku dapatkan dengan hanya duduk di kantor. Turun lapangan merupakan cara-ku untuk melarikan diri sesaat dari tumpukan dokumen. Matahari sore di Mandalanusa yang masih cukup terik sama sekali tidak memadamkan niat-ku.
Diperjalanan turun pak Zain banyak bertanya pada-ku. Seputaran mengapa aku bisa ke Mandalanusa dan mengapa mau mengambil jurusan teknik sipil, bagaimana tantangan-nya sejauh ini. Dia bahkan menceritakan pengalaman lucu-nya yang mengambil jurusan ini karena melihat tetangga-nya. Ada-ada saja. Aku sesekali tertawa mendengar ceritanya, obrolan sore ini bersama pak Zain sama sekali tidak terkesan seperti wawancara sebelum sebuah pertanyaan yang tak terduga mengalir dari mulutnya.
"Pacar mba jurusan apa?" Deg. Mengapa tiba-tiba bertanya soal ini? Apakah aku terlihat memiliki pacar?
"Hehehe..."
"Sipil juga?"
"Gaada pak"
"Masa si? aku merhatiin kamu sering kok chat-an sama pacarmu" goda-nya dengan tersenyum lebar.
"Iya pak serius gaada" aku meringis tidak tahu harus menjawab apa lagi. Apakah pak Zain pernah membaca chat Whatsapp-ku? My goodness sake. Apa mas Mora?! I don't know how to explain if we are close but definetely not as a couple. Masa aku harus jelasin hubungan-ku dengan mas Mora seperti apa ke pak Zain? Kita nggak pacaran pak kita cuma saling menyayangi, sebatas aku sayang orangnya, hell no ga mungkin aku jelasin kayak gitu, Batinku.
"Sipil juga ya? proyek mana? disini juga?" usut-nya penasaran. Woah, makin bingung jawab-nya. Bisa repot nanti-nya kalo ada orang kantor yang tahu, tapi kan emang bener kalo kita ga pacaran, but he really didn't believe me when i said i don't have a boyfriend.
"Iya pak" jawaban-ku membuatnya berhenti bertanya lagi. Begitu saja sebaiknya dari pada dia terus-terusan memaksa-ku dan makin panjang lagi topik ini. Lucu, berbohong bukan kemauan kita namun terpaksa kita lakukan karena terkadang mereka lebih mempercayai kebohongan dari pada kejujuran.
***
Jam sudah menunjuk-kan pukul 4.30 ketika aku kembali dari site. Aku membersihkan diri dan masuk ke ruang kantor dengan lemas serasa seluruh energi-ku sudah habis terkuras. Jangan tanya karena apa, kalian sudah tahu alasannya. Aku ingin menceritakan-nya pada Sophia namun aku tidak memiliki energi lagi untuk bercerita, gantinya aku mendengarkan saja Ia berceloteh panjang lebar tentang mas Iza. Di tengah sesi cerita tiba-tiba aku merasakan rasa yang tak tertahankan.
"Ntar Sop, pause dulu ceritanya kebelet pipis gue"
"Yaudah buruan sana"
Aku berlari keluar ruangan dan kebingungan mencari sandal-ku. Aku menelusuri hall tapi tidak menemukan keberadaan sandal-ku. Aku masuk kembali ke ruangan dan membuat Sophia bingung,
"Sop sendal gue ilang"
"Bukan ilang tuh... dipake orang aja, coba cari di lantai dua di ruangan-nya Corie"
"Gue dah kebelet sop, nyampe atas trus gaada dah keburu pipis gue"
"ntar gua telpon Corie" celetuk Sophia sambil menekan nomor Corie dan memperdengarkan nada sambung panggilan telepon namun tak ada jawaban. " Ga diangkat Elle, udah lu pake sendal gue dulu gapapa"
"Ahh gabisa gue, ntar sendalmu basah, aku kalo ke toilet pasti basahin kaki" kebiasaan-ku ke toilet yang kalau tidak dilakukan seperti ada yang kurang.
Gimana ya? Tanpa sadar rasa kebelet hilang ketika aku sedang berpikir. Siapa yang harus kuhubungi? Tiba-tiba di pikiran-ku terbesit namanya. Apa aku harus menghubunginya? Aku menekan namanya di ponsel-ku, Damn it, bukan waktu-nya lu mikirin gengsi Elle! Just Call him.
Nada sambung terdengar agak panjang sebelum suara seseorang di seberang sana menyapa telinga-ku, "Halo"
"Halo mas"
"iya kenapa?"
"Mas bisa minta tolong ga?"
"Iya, Minta tolong apa?"
"ehe, mintol liatin sendalku kalo ada di atas depan ruangan mas"
Sejenak tidak ada suara di seberang. Sepertinya dia sedang melihat keluar ruangan-nya,
"Ga ada nih"
"Serius mas? depan ruang teknik juga gaada? wahh gimana dong aku dah kebelet banget"
"Iya nih gaada aku dah depan ruangan, pake sendal lain dulu"
"gabisa mas"
"di depan ruang administrasi gaada?"
Aku kembali menyusuri tempat yang sudah ku cek tadi tapi tidak melihat wujud sandal-ku,
"Gaada mas"
"Coba kamu liat depan ruang administrasi depan gazebo"
Aku kembali untuk memastikan tapi nihil.
"Gaada sama sekali"
"Masa sih? ntar"
eh..eh kenapa? ada apa? aku bolak balik di depan ruangan-ku dengan bingung. Tiba-tiba aku terkejut melihat sosok-nya muncul di ujung hall dan berjalan ke arah-ku. Mas Mora turun? Aku seketika diselimuti rasa bersalah karena sudah merepotkan-nya. Tapi rasa bersalah seketika berubah menjadi rasa gugup melihatnya berjalan ke arah-ku sambil menatapku. Ada apa dengan-ku? mengapa aku gugup?
"Mas?"
"Coba liat lagi depan tangga" ucapnya dengan masih menempel di telinga-nya padahal jarak-nya dan jarak-ku sudah kurang dari 3 meter.
"Mas matiin aja call nya"
"O iya lupa" jawabnya sambil mematikan ponselnya dan menyimpan benda persegi itu ke dalam saku-nya.
Aku terkekeh melihat tingkah-nya barusan. Dia berbelok ke arah gazebo dan aku mengikuti-nya. Dia berhenti tepat di depan tangga yang berada di depan ruang administrasi dan dekat gazebo, Ia menunjuk ke arah bawah ke arah sandal-ku! Sejak kapan itu disitu? Aku menutup wajahku sejenak sebelum menatapnya dan terkekeh.
"ehe, tadi aku bolak balik disini kok galiat si?"
"hmmmm"
"Makasih ya mas, mas lagi apa?"
"Lagi rapat"
"Kok mas gabilaang?"
"hehe gapapa, udah kan aku balik ya"
"Iya mas"
Aku menatapnya pergi dan menghilang di ujung hall. Aku meringis meratapi kebodohan-ku, rasa kebelet-ku hilang tergantikan dengan rasa malu. Semakin aku mengingatnya makin membuatku merasa bersalah karena sudah membuatnya turun dan mengganggu rapat-nya hanya untuk menunjuk-kan keberadaan sandalku yang nyatanya berada dekat dengan-ku, hanya aku yang buta tak melihat benda itu walaupun sudah berkali-kali menelusuri tempat itu. Aku mengetikan ucapan maaf dan terimakasih padanya,
Me : Sorry ya mas ngerepotin, makasiii sudah bantu nyari sandalku
Mas Mora Arsyad : Wkwkw iyaa by sama"
Aku merasa ada kupu-kupu yang terbang di perut-ku. Sial. Lagi lagi salah tingkah. Hari ini seperti wahana roller coaster bagiku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
129 Days
RomanceMimpi buruk Elle berubah menjadi kenyataan termanis yang tak terlupakan ketika ia bertemu dengan Mora. Tidak pernah terbayang dalam benak-nya akan melihat pelangi di dunia-nya yang monokrom, gradasi warna yang nampak saat itu mampu membuatnya terkag...