(1) Sebuah Janji🩺

2.8K 197 39
                                    

Tirai kabut masih enggan terangkat, menyelimuti pagi dengan kelembutan yang dingin. Suara rintik hujan lembut menghiasi udara, berbisik pelan kepada bumi yang baru saja terbangun. Seorang remaja laki-laki masih nyaman terbenam dalam kehangatan selimut tebal, seolah tak tergugah oleh suasana pagi yang penuh ketenangan itu. Namun, saat kesadarannya perlahan hadir, ia menyadari bahwa mimpi-mimpinya harus terhenti sejenak, mengalah pada kenyataan yang menanti.

Udara pagi yang segar dan lembap menambah syahdu perasaannya, membuatnya ingin memejamkan mata lebih lama. Tapi, suara rintik hujan yang terus berjatuhan perlahan, menciptakan melodi alam yang menenangkan hati, akhirnya membuatnya sadar bahwa ada tanggung jawab yang harus ia jalani. Meskipun tubuhnya masih ingin berselimut mimpi, Jevian, remaja laki-laki itu, tahu bahwa waktu tak bisa menunggu.

Eughh~

Sebuah lenguhan pelan khas bangun tidur terdengar dari bibirnya. Matanya yang sebelumnya terpejam kini perlahan membuka. Jevian akhirnya memutuskan untuk bangun meskipun kehangatan tempat tidur masih memanggilnya. Di sebelahnya, ponsel tergeletak dengan layar yang redup, seakan menunggu untuk disentuh.

Dengan gerakan lambat, Jevian meraih ponselnya, membuka kuncinya, dan mulai mengetik pesan. Jari-jarinya menari lincah di atas layar, mengirimkan kata-kata yang ingin ia sampaikan kepada seseorang yang sangat dekat di hatinya, Nathan, sepupu sekaligus sahabatnya yang paling ia sayangi.

Jevian: Nath, gue baru bangun tidur, nih. Sorry gue kesiangan bangunnya. Lo kalau mau berangkat duluan ke kampus nggak apa-apa, kok. Nanti gue berangkat sama pak Rangga aja.

Hampir seketika, notifikasi balasan muncul di layar. Nathan memang selalu cepat membalas pesan dari Jevian, tak peduli seberapa sibuk dirinya. Bagi Nathan, Jevian selalu menjadi prioritas utama. Maka tak heran, saat Jevian mengetikkan balasan, Nathan pun segera merespon lagi, dengan nada canda yang sudah menjadi ciri khas mereka berdua.

Nathan: Sanah mandi, Jev! Gue otw ke rumah lo sekarang.

Jevian tersenyum kecil, meski rasa malas masih sedikit menyelimuti tubuhnya.

Jevian: Lo tetep mau jemput gue? Nggak usah, deh. Nanti lo ikutan telat jadinya.

Nathan: Nggak masalah, Jev. Kuliah kalau telat juga nggak bakal dihukum. Santai aja.

Jevian: Lo udah mandi emang?

Nathan: Ya udah, lah. Makanya ini gue mau otw ke rumah lo.

Jevian: Ya udah, gue mau mandi dulu kalau gitu. Hati-hati ya bawa mobilnya! Di luar lagi hujan.

Nathan: Oke, bos.

Percakapan itu mungkin terlihat sederhana, namun penuh dengan kedekatan yang tidak bisa tergantikan. Setiap kata yang mereka tuliskan adalah cerminan dari rasa saling peduli yang tulus. Bagi mereka, kebersamaan lebih penting daripada hal lainnya, termasuk ketepatan waktu di pagi hari yang penuh kesibukan. Hujan yang terus turun di luar sana hanyalah latar belakang dari percakapan mereka, menambah kesan hangat di tengah dinginnya suasana pagi.

Setelah selesai saling berbalas pesan dengan Nathan, Jevian meletakkan ponselnya di atas kasur. Tanpa membuang waktu, ia segera melangkah menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, siap menjalani ritual pagi yang sudah menjadi rutinitasnya sebelum berangkat kuliah. Air dingin menyentuh kulitnya, perlahan membangunkannya dari sisa kantuk yang masih membayangi.

Jevian kini telah menjadi seorang mahasiswa, sebuah pencapaian yang tak pernah ia bayangkan beberapa tahun lalu. Setelah pulang dari Singapura, di mana ia menjalani perawatan intensif untuk penyakit jantungnya, hidupnya seakan diberi kesempatan kedua. Keputusan besar untuk kembali bersekolah setelah sembuh bukanlah hal yang mudah. Pada saat itu, ketakutan dan keraguan masih menghantuinya, membuatnya merasa belum siap untuk kembali ke dunia akademis.

JEVNATHAN || JENO × JAEMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang