(14) Tak Ada Nathan Tanpa Jevian🩺

1.3K 149 18
                                    

Pagi itu, suasana di ruang rawat Jevian terasa hangat, meski sisa-sisa malam yang panjang masih menyisakan lelah pada wajah-wajah keluarganya. Jevian, dengan tubuh yang masih lemah, setengah bersandar di ranjang rumah sakit. Bantal besar menopang tubuhnya yang miring sedikit ke kanan, membantunya tetap nyaman meskipun bagian pinggang kirinya terasa nyeri karena memar. Pendarahan internal akibat hemofilia yang ia derita sering membuat tubuhnya tiba-tiba memar, menciptakan rasa sakit yang membuatnya sulit bergerak bebas. Di tengah rasa lelah itu, Jevian masih berusaha menelan sarapan yang disuapkan oleh kakaknya, Jeffran.

Jeffran, dengan penuh perhatian, duduk di samping adiknya, sesekali mengusap punggung Jevian agar dia lebih nyaman. Wajah Jeffran terlihat serius, tapi di balik itu ada kekhawatiran yang tidak bisa ia sembunyikan. Meski Jevian sudah terbiasa dengan kondisi ini, Jeffran tetap tidak pernah bisa terbiasa melihat adiknya kesakitan. Di sisi lain, suasana di ruangan itu mulai mencair dengan kehadiran keluarga besar mereka. Di sebelah kiri ranjang Jevian, Nathan kini duduk di kursi yang tadi sempat ditempati oleh Tirany, menggantikan posisinya. Sementara Tirany dan Davian, duduk di sofa bersama Yuniar dan Satya, yang baru saja tiba. Mereka berbincang hangat, saling bertukar kabar tentang perkembangan kondisi Jevian. Percakapan mereka mengalir santai, dengan sesekali diselingi tawa ringan, menciptakan suasana yang lebih nyaman. Di sebelah mereka, opa dan oma juga duduk di sofa yang sama, tersenyum kecil melihat kehangatan yang tercipta di antara keluarga besar itu. Meski kekhawatiran masih terselip di hati mereka, kehadiran bersama ini memberikan sedikit rasa tenang.

Setelah suasana sedikit lebih tenang, Jeffran tiba-tiba nyeletuk sambil tetap menyuapi Jevian. "Tuh, Nathan udah dateng, dek," katanya dengan nada bercanda. "Dari tadi kamu nanyain dia terus, kan? Pasti kamu seneng kan karena dia sekarang udah ada di sini?"

Nathan yang duduk di sisi kiri ranjang Jevian tersenyum mendengar candaan itu dan langsung menimpali. "Berarti dari tadi Jevian nungguin aku balik ke sini yah, kak?" tanyanya pada Jeffran sambil melirik Jevian.

Jeffran mengangguk dengan ekspresi pura-pura serius. "Iya tuh, Nath. Dari tadi dia nanyain kamu terus. Tiap kali ada orang ketuk pintu, dia pasti ngarep yang ketuk pintu itu kamu. Padahal cuma ditinggal pulang bentar doang tapi dia nungguinnya udah kayak berasa lama banget."

Nathan tertawa kecil, lalu menggoda Jevian dengan candaannya. "Hahaha, ketahuan deh lo Jev! Ternyata lo kangenin gue, ya?"

Jevian yang masih disuapi terlihat tersipu, tapi langsung membela diri. "Apaan sih, orang gue cuma nanya doang. Gue kan cuma mau mastiin aja. Siapa tahu lo bohong."

Nathan mengangkat alis, senyum jahilnya semakin lebar. "Emang kalau gue bohong kenapa? Lo kecewa kalau gue nggak jadi mampir lagi ke sini sebelum berangkat kampus? Kalau lo kecewa berarti bener dong, lo emang beneran kangen gue dan ngarepin gue dateng? Ya, kan?!"

Jevian pura-pura mendengus, meski rona merah di pipinya semakin jelas. "Lo jangan salah paham, Nath! Awalnya kan emang lo duluan yang janji mau balik ke sini lagi sebelum berangkat ke kampus? Ya wajar dong kalau gue nungguin? Beda lagi kalau emang lo nggak janji, baru gue bodoamat mau lo balik ke sini dulu atau langsung berangkat ke kampus. Tapi berhubung lo udah janji, ya gue mau dong, lo tepatin janjinya?!" 

Nathan tertawa kecil mendengar omongan Jevian yang panjang lebar. Melihat sepupunya bisa bicara seperti ini lagi membuat Nathan merasa lega dan senang. Masih terbayang jelas dalam pikiran Nathan bagaimana semalam Jevian hampir tidak bisa berkata apa-apa, hanya mengeluarkan beberapa kata singkat karena tubuhnya terlalu lemah. Nathan menghela napas dalam-dalam, bersyukur bahwa pagi ini Jevian sudah bisa lebih ceria lagi, bisa diajak ngobrol panjang, bahkan mengomel seperti biasanya.

JEVNATHAN || JENO × JAEMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang