Pagi itu, sinar matahari mulai menyelinap masuk melalui tirai besar di ruang rawat mewah rumah sakit. Ruangan itu luas, dengan perabotan yang membuatnya lebih mirip apartemen ketimbang kamar rumah sakit. Ada sofa besar, meja kayu, dan ruang tidur terpisah untuk keluarga yang menunggu Jevian. Meski suasananya terasa nyaman, nuansa kekhawatiran tidak bisa diabaikan. Setiap benda di ruangan itu seolah berusaha meredam kecemasan, tapi pada akhirnya, fokus tetap tertuju pada satu titik, yaitu Jevian.
Jevian masih terbaring di ranjang rawatnya, terhubung dengan berbagai alat medis yang terus memantau kesehatannya. Wajahnya memang masih pucat, namun tanda-tanda perbaikan mulai tampak. Tubuhnya masih terasa berat, tapi ia tidak lagi terlihat terlalu lemas seperti sebelumnya. Setelah menjalani transfusi darah, kondisinya mulai berangsur membaik. Sekarang, matanya lebih sering terbuka, meski pandangannya masih sayu. Jevian berbaring miring, menghadap ke arah Tirany yang duduk di kursi samping ranjang sebelah kirinya. Tangan kanannya menggenggam erat tangan Tirany, sementara tangan kirinya masih terpasang infus.
Tirany mengelus lembut tangan putranya. Setiap sentuhan kecilnya penuh kasih, meskipun hatinya masih menyimpan kecemasan. Seperti kebanyakan ibu, ia selalu merasa cemas ketika melihat anaknya sakit. Kondisi Jevian yang sering berubah secara tiba-tiba membuatnya sedih, namun setiap tanda perubahan kecil yang positif, seperti hari ini, memberi secercah harapan. Tirany terus mencoba memupuk harapan bahwa anaknya akan segera pulih.
Di sebelahnya, Davian, suaminya, berdiri. Wajahnya masih tampak lelah meskipun baru selesai mandi dan berpakaian rapi. Ekspresi tenangnya menyembunyikan keletihan yang tersisa dari malam panjang yang baru saja ia lewati. Semalam, Jevian tidak bisa tidur nyenyak. Ia terus mengeluh tentang rasa nyeri di tubuhnya, terutama di beberapa sendi yang memar akibat pendarahan tiba-tiba, gejala khas hemofilia yang dideritanya. Davian terjaga sepanjang malam, memastikan putranya nyaman, sambil berjuang melawan rasa cemas yang tidak kunjung hilang. Sebagai dokter bedah, ia terbiasa menghadapi situasi kritis, tetapi ketika yang sakit adalah anaknya sendiri, kecemasan itu jauh lebih sulit diatasi.
Davian kemudian menggerakkan tangannya, mengelus lembut rambut Jevian. "Gimana sekarang, dek? Udah ngerasa lebih baik, kan?" tanyanya pelan, penuh harapan. Jevian hanya mengangguk lemah, tidak mampu mengeluarkan suara. Meskipun ia terlihat lebih baik daripada sebelumnya, matanya masih menyimpan kelelahan.
Melihat respon dari Jevian, Tirany dan Davian saling bertukar pandang. Ada kelegaan kecil yang merayap di hati mereka, meskipun kekhawatiran belum sepenuhnya hilang. Rasa syukur menyelimuti mereka berdua, mengingat betapa rapuhnya kondisi Jevian beberapa waktu lalu. Setiap kali putra mereka menghadapi masalah dengan kesehatannya, mereka selalu dihadapkan pada bayang-bayang kekhawatiran yang terus mengintai. Ketakutan bahwa mungkin suatu hari tubuh lemah putra mereka tidak akan mampu bertahan lagi selalu menghantui pikiran mereka, namun untuk saat ini, mereka memilih untuk bersyukur bahwa Jevian masih di sini, dan masih mau berjuang melawan penyakitnya.
Davian merasakan getaran kasih sayang yang dalam saat melihat Jevian berjuang meskipun hanya dengan anggukan lemah. Tangannya yang lembut mengelus rambut Jevian, seolah ingin memberikan kekuatan melalui sentuhannya. Tirany menatap Jevian dengan penuh cinta, berusaha menyalurkan semua harapan dan doa yang terpendam dalam jiwanya.
Keduanya tahu bahwa jalan menuju pemulihan mungkin tidak selalu mulus, tetapi mereka juga memahami betapa pentingnya keberadaan satu sama lain dalam menghadapi masa-masa sulit. Meskipun ada rasa sakit yang tak terkatakan, cahaya harapan mulai muncul di antara bayang-bayang kecemasan mereka. Dalam keheningan ruangan rumah sakit itu, kasih sayang dan keberanian menjadi ikatan tak terputus di antara mereka, sebuah pengingat bahwa meski perjalanan ini penuh liku, mereka akan selalu berjalan beriringan.
Sementara di sofa yang terletak di sudut ruangan, Jeffran duduk bersama opa. Perhatian mereka masih terfokus pada kondisi Jevian, meskipun ada sedikit kelegaan melihat perkembangan positif hari ini. Jeffran sesekali melirik ke arah adiknya, mencoba menelaah perubahan kecil yang terjadi. Sebagai seorang dokter, ia tahu bahwa kondisi hemofilia Jevian membutuhkan perhatian ekstra, terutama ketika terjadi perdarahan internal. Namun, melihat Jevian yang kini sedikit lebih kuat dibandingkan kemarin, membuatnya merasa sedikit lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
JEVNATHAN || JENO × JAEMIN
Ficção AdolescenteDILARANG PLAGIAT !!! ❌ Bagi yang belum baca cerita "MY FAMILY MY DOCTOR", disarankan buat baca cerita itu dulu sampai selesai ya karena cerita ini lanjutan dari cerita itu👌🏻