(8) Seketika, Rasa Itu Kembali Menyapa🩺

1.3K 141 15
                                    

Malam itu, sekitar pukul delapan, langit yang tadinya mendung kini sudah mulai terang, dan udara malam terasa sejuk. Di dalam kamar mereka, Tirany duduk di ranjang sambil memeluk Davian dengan penuh kasih. Suaminya bersandar di dadanya, mencoba meredakan guncangan yang masih tersisa. Tirany dengan lembut mengelus rambut Davian, berusaha menenangkan hati suaminya yang masih belum sepenuhnya pulih dari kejadian sore tadi.

Tirany terus mengajak bicara suaminya, suaranya lembut dan menenangkan, mencoba mengalihkan pikiran Davian dari beban yang tengah menghantui. Ia mulai menceritakan hal-hal kecil yang membuat mereka tersenyum, seperti kenangan manis ketika anak-anak mereka masih kecil. Dia tahu betul, mengalihkan pikiran Davian dari kenangan buruk dua tahun lalu adalah hal yang penting. Kejadian ketika mereka hampir kehilangan Jevian masih membekas dalam, dan Tirany tak ingin suaminya kembali tenggelam dalam ketakutan yang sama.

Awalnya, Davian tetap terdiam, membiarkan Tirany mengisi keheningan di antara mereka dengan ceritanya. Matanya terpejam, napasnya pelan, namun terdengar berat. Dalam pikirannya, kilasan memori itu masih terus muncul, yaitu rasa cemas, takut, dan keputusasaan yang pernah ia rasakan seperti menolak untuk pergi. Ia tahu bahwa istrinya berusaha keras menghiburnya, dan ia ingin membalas usaha itu, tapi pikirannya seakan terjebak dalam ingatan-ingatan yang membuatnya gelisah.

Namun, perlahan-lahan, suara lembut Tirany yang menceritakan hal-hal menyenangkan mulai menembus kabut pikirannya. Ada kehangatan di sana, sesuatu yang menariknya kembali ke saat-saat yang lebih sederhana, lebih bahagia. Tanpa disadari, bibirnya mulai membentuk senyum tipis saat ia mendengarkan.

“Kamu masih ingat nggak waktu Jevian pertama kali belajar menulis?” Tirany tersenyum lembut, suaranya penuh kasih. “Dia nggak mau berhenti sampai namanya tertulis dengan sempurna. Bahkan meski sudah larut malam, dia tetap saja gigih. Tangannya kecil, tapi semangatnya besar sekali.”

Untuk sesaat, Davian hanya mengangguk pelan, tapi matanya perlahan terbuka, menatap wajah istrinya dengan lebih tenang. "Iya," gumamnya, suaranya masih sedikit serak. "Aku ingat..."

Tirany melanjutkan dengan lembut, matanya menatap suaminya dengan penuh pengertian. “Dia menulis namanya berulang-ulang di kertas hingga halaman terakhir buku catatannya. Sampai akhirnya aku harus memberinya buku baru, dan dia tetap nggak mau berhenti menulis,” katanya, mengingat betapa antusiasnya Jevian kala itu.

Davian akhirnya tertawa kecil, perasaan hangat mulai menjalari dadanya. “Ya, benar… dia memang semangat sekali saat itu,” jawabnya, suaranya mulai mencair, lebih ringan dari sebelumnya. “Aku ingat waktu itu dia marah karena aku bilang dia harus istirahat. Dia nggak mau berhenti sampai tulisannya benar-benar bagus.”

Tirany tersenyum lebih lebar, senang melihat suaminya mulai terbuka. "Iya, bahkan saat dia akhirnya ketiduran pun pensilnya masih ada di tangan. Itu lucu sekali, kan?”

Davian tertawa lagi, kali ini lebih lepas. “Iya, putra bungsuku memang sangat menggemaskan dan lucu sekali… Dia memang selalu punya tekad yang besar meski saat itu dia masih sangat kecil.” Raut wajahnya terlihat lebih cerah, dan meski masih ada kesedihan di matanya, setidaknya beban itu mulai sedikit terangkat.

Davian tersenyum lebih lebar, rasa hangat mulai menjalari dadanya. "Bahkan ketika bangun pagi, dia langsung minta untuk melanjutkan lagi," tambahnya sambil menggelengkan kepala, teringat jelas ekspresi gigih putra bungsunya itu.

Tirany mengangguk sambil meneruskan mengusap lembut kepala suaminya. "Iya, dia selalu punya tekad yang kuat. Bahkan saat dokter bilang dia perlu banyak istirahat, dia masih ingin belajar, ingin tahu banyak hal. Dia memang nggak pernah berhenti mengejutkan kita," gumamnya dengan mata berkaca-kaca, penuh kebanggaan dan kasih sayang.

JEVNATHAN || JENO × JAEMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang