(9) Prioritas Utama🩺

1.2K 159 19
                                    

Pagi itu, Jevian terbangun lebih awal dari biasanya, ditemani suara alarm yang mengisi kamar dengan bunyi lembut, membangunkannya dari tidur yang tak sepenuhnya nyenyak. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menyelinap masuk melalui jendela kamarnya. Ia menghela napas panjang, berusaha menghilangkan sisa-sisa kantuk yang masih menggantung di kelopak matanya. Tanpa berlama-lama, ia bangkit dari tempat tidur, meraih handuk dan menuju kamar mandi.

Air dingin menyentuh kulitnya, membangunkannya dengan lebih efektif daripada suara alarm. Jevian menikmati sensasi segar yang mengalir dari ujung kepala hingga ujung kaki, seperti aliran energi baru yang menyegarkan tubuhnya. Namun, pikiran tentang kejadian semalam kembali menghantui. Saat ia berdiri di depan cermin kamar mandi, jejak-jejak kelelahan masih tampak jelas di wajahnya. Ia menatap refleksinya dengan seksama, melihat bayangan dirinya yang tampak lebih letih daripada biasanya.

Dengan hati-hati, ia membuka jubah mandinya, memperlihatkan bekas jahitan di dadanya, hasil dari operasi transplantasi jantung dua tahun lalu. Bekas jahitan itu, meski sudah memudar, masih terlihat jelas, mengingatkannya pada masa-masa sulit yang pernah ia lalui. Dengan lembut, ia meraba bekas jahitan itu, jari-jarinya merasakan tekstur kasar yang kini menjadi bagian dari dirinya. Setiap sentuhan membawa kembali ingatan akan rasa sakit, ketakutan, dan ketidakpastian yang dulu begitu nyata. Seperti lembaran buku yang penuh kenangan pahit, bekas luka itu menyimpan cerita panjang tentang perjuangan dan keberanian yang harus ia hadapi untuk tetap hidup.

Pikirannya melayang kembali ke perasaan nyeri yang tiba-tiba menyerang semalam. Rasa nyeri itu bukan sekadar fisik, tetapi juga emosional. Ia tahu bahwa kondisi kesehatannya telah stabil sejak operasi, tetapi bayangan masa lalu itu masih seperti bayangan gelap yang tak mau pergi. Ia bertanya-tanya apakah rasa nyeri semalam adalah tanda peringatan dari tubuhnya, atau hanya sekadar perasaan cemas yang kembali menghantui.

Dengan perasaan tidak menentu, Jevian menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menghalau kecemasan yang mulai merayap kembali ke pikirannya. Ia tahu ia tidak bisa membiarkan perasaan ini menguasai dirinya. Pagi ini, ada banyak hal yang harus dilakukan. Kuliah menanti, tugas desain yang belum selesai, dan tentu saja, menghadapi hari yang penuh tantangan.

Setelah beberapa saat, ia menarik kembali jubah mandinya, menutupi dadanya, dan menatap bayangan dirinya di cermin sekali lagi. Ia memutuskan untuk tidak membiarkan rasa takut menguasainya. Ia harus fokus pada yang di depan, bukan yang di belakang. Jevian berpikir, mungkin ini saatnya ia lebih percaya pada tubuhnya sendiri, pada proses penyembuhan yang telah ia jalani, dan pada keyakinan bahwa ia akan baik-baik saja.

Dengan langkah yang lebih mantap, ia berjalan menuju lemari pakaian, memilih setelan yang nyaman untuk hari itu. Celana panjang putih dan kaos merah cerah menjadi pilihannya, dilapisi dengan kemeja putih bergaris yang sengaja dibiarkan terbuka untuk menampilkan kaos di dalamnya. Ia ingin tampil segar dan bersemangat, meskipun hatinya masih sedikit dibayangi kecemasan. Setelah berpakaian, ia menyisir rambutnya, mencoba merapikan sedikit helai yang enggan tunduk pada sisir. Wajahnya sedikit pucat, tetapi ada tekad yang kuat di matanya. Ia harus melalui hari ini dengan sebaik-baiknya.

Ketika akhirnya ia selesai bersiap-siap, Jevian melangkah keluar dari kamarnya, menuruni tangga menuju ruang makan. Aroma lezat sarapan pagi langsung menyambutnya, membuat perutnya yang semula tak begitu lapar kini terasa mulai keroncongan. Sinar matahari pagi yang lembut menembus jendela besar di ruang makan, menciptakan bayangan hangat yang menari di lantai dan meja makan.

Tirany, mamanya, sudah menunggu di meja makan dengan senyum lembut di wajahnya. Ia sedang menuangkan susu ke dalam gelas-gelas di meja, memastikan semuanya siap untuk sarapan pagi bersama. Ketika Jevian memasuki ruangan, Tirany tersenyum hangat, seolah melihat sesuatu yang sangat berharga.

JEVNATHAN || JENO × JAEMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang