Bab 01

199 30 34
                                    

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Natasha, meninggalkan jejak kemerahan di pipi putihnya. Natasha memegangi pipinya sambil menahan air mata, ia menatap wajah Tiara dengan tatapan tak percaya.
Ia tidak menyangka bahwa Tiara akan semakin berani bermain tangan padanya.

"Jangan bertingkah, Natasha! Semua pekerjaan rumah adalah tugas mu! Paham?" bentak Tiara sambil mencengkram erat dagu Natasha tanpa melepas pandangan tajamnya.

Dadanya terlihat naik turun menahan gejolak emosi. Natasha hanya bisa mengangguk pasrah. Ia sudah tidak memiliki tenaga untuk melawan mamanya. Tiara menuju kamarnya meninggalkan Natasha sendirian di ruang tengah. Usai pintu kamar Tiara tertutup yang diakhiri dengan suara dentuman keras, Natasha menangis terisak-isak.

"Ya Tuhan, sakit banget tamparan Mama ...."

"Makanya, kalau nggak mau ditampar sama Mama, jangan bertingkah!" Sebuah suara dengan nada sinis terdengar dari sisi kanan Natasha. Ia menoleh dan mendapati Thalia yang berdiri menatapnya sinis dengan senyuman mengejek.

"Lo tuh harusnya juga ikut bersih-bersih rumah! Anak gadis di rumah ini bukan cuman gue!" sentak Natasha kesal.

"Hahaha ...." Thalia tertawa dengan nada mengejek. "yang disuruh Mama kan, cuman lo. Mama nggak pernah suruh gue, tuh," sambungnya.

Natasha hanya bisa terdiam dan menatap Thalia kesal, karena apa yang diucapkan oleh Thalia benar adanya. Tiara memang hanya memerintahkannya seorang diri untuk membersihkan rumah dua lantai beserta halaman rumah yang cukup luas dan ia tidak diperbolehkan memakan apapun sebelum semua pekerjaan rumah selesai. Tak pernah sekalipun ia mendengar Tiara memerintahkan Thalia untuk membantunya.

"Gue jadi curiga, apa jangan-jangan sebenarnya ... lo ini, anak pungut?" Thalia menatap Natasha dengan senyum mengejek dan merendahkan.

Natasha mengangkat tangannya ingin menampar wajah Thalia, karena baginya perkataan Thalia kali ini sudah keterlaluan, namun sebuah cekalan di pergelangan tangannya berhasil menghentikan pergerakannya. Natasha menoleh dan mendapati Tristan yang sedang mencekal lengannya.

"Mau ngapain lo? Mau tampar adik gue? Iya?" Suara berat Tristan dan tatapan tajamnya membuat Natasha merasa tertekan dan terintimidasi. Ia menghempaskan tangannya kasar untuk melepaskan cekalan Tristan di lengannya.

"Gue juga adik lo, Bang! Kenapa cuman Thalia yang Abang bela?" Suara parau Natasha menyiratkan rasa sedih dan sakit yang mendalam.

Tristan tersenyum sinis mendengar perkataan Natasha. Ia menyugar rambutnya ke belakang sebelum menjawab, "Terserah gue dong, mau pilih siapa. Itu kan hak pribadi gue."

Natasha berlari menaiki tangga menuju kamarnya meninggalkan kedua saudaranya yang seperti orang lain baginya. Sedangkan keduanya hanya diam saja menatap kepergian Natasha tanpa ada rasa bersalah.

"Memangnya tadi ada apa?" tanya Tristan pada Thalia yang masih berdiri di hadapannya.

Thalia pun menceritakan semuanya tanpa ada yang ia kurangi ataupun ia tambahi. Karena ia tahu, tanpa ada bumbu dalam ucapannya pun, Tristan akan tetap membelanya. Setelah mendengar penjelasan dari Thalia, Tristan mengangguk-angguk dengan kening berkerut.

"Benar juga kata lo, apa mungkin dia beneran anak pungut ya?"

Belum sempat Thalia menyahuti ucapan Tristan, mereka menoleh ke arah Tiara yang keluar dari kamarnya dengan tergopoh-gopoh sambil membawa koper berukuran sedang. Bergegas mereka berdua menghampiri Tiara.

"Mama mau kemana? Kok bawa koper?" Tristan memindai penampilan rapi mamanya.

"Papa kalian tiba-tiba drop, jadi Mama harus ke rumah sakit. Mungkin Mama akan menginap di sana," jelas Tiara panik.

Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang