Bab 3: Pak Programmer

1.8K 301 76
                                    

Sepertinya, merajuk memang sudah menjadi sikap dominan yang tertanam pada diri perempuan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepertinya, merajuk memang sudah menjadi sikap dominan yang tertanam pada diri perempuan. Tidak hanya untuk perempuan dewasa saja, tetapi juga pada anak kecil. Seperti Zau misalnya.

Jibran bergeser semakin mendekati tubuh mungil Zauvina. Namun, titisan istrinya itu segera menjauh dan memalingkan wajah. Mimik mukanya tidak bersahabat. Zau marah karena tidak diijinkan membeli apa yang disukainya.

"Kan, kemarin udah beli, Sayang. Adek juga belum lama ini sembuh dari flu. Nanti kalau sakit lagi gimana?" ucap Jibran kembali membujuk.

Zau mengeratkan pelukannya pada boneka kucing di tangannya. Ia memalingkan wajah lagi saat Jibran berusaha menatapnya.

Jibran menghela napasnya. Ia menatap Windy meminta bantuan. Tapi, Windy melengos. Perempuan itu sudah terlanjur lelah menghadapi putrinya. Ia tidak mau emosinya terlepas begitu saja di tengah keramaian.

Zean masih tenang di gandengan Windy sembari mengedarkan pandangannya. Menatap satu per satu store mall yang mereka datangi.

"Besok, deh. Ayah belikan ice cream," kata Jibran akhirnya.

"Ayah," tegur Windy.

Perempuan itu menautkan kedua alisnya. Ia tidak setuju dengan keputusan suaminya. "Kan udah sepakat enggak boleh manjain anak."

Windy beralih melihat Zau. "Adek udah janji, loh, ya. Peraturannya minimal satu kali dalam seminggu," ucapnya tegas pada Zau.

Zau mencebik. Gadis kecil itu merunduk. Mendengar suara bundanya itu membuat matanya perlahan berkaca-kaca.

Windy menghela napasnya. Ia menekan kembali kesabarannya agar tidak memarahi Zau lebih keras.

Sudah beberapa kali Windy dan Jibran menghadapi sikap merajuk Zean dan Zau. Kebanyakan memang dari Zau. Namun, entah mengapa Windy selalu tidak bisa membujuk Zau dengan mudah. Maka dari itu, ia melemparkan tugas tersebut pada Jibran.

Di sisi lain, Jibran sudah biasa menghadapi sikap merajuk Zau. Sebab, ia sudah berpengalaman menghadapi ibu dari putrinya. Bisa dapat dikatakan, Jibran sudah khatam.

Zau menatap Jibran. Langkah kecilnya mendekat pada pria itu kemudian berlindung di pelukan sang ayah. Jibran pun mengusap-usap punggung Zau dengan sayang.

"Bunda enggak marah, kok. Adek patuh sama Ayah dan Bunda, ya."

Zau masih diam. Mulutnya tekatup dengan rapat. Garis bibirnya melengkung ke bawah.

"Sebagai gantinya, Ayah belikan boneka kucing lagi, deh. Nanti Adek pilih sendiri. Gimana? Mau?"

Zau tidak menjawab. Salah satu tangannya mengalung ke leher Jibran. Wajahnya turut disembunyikan. Jibran pun membawa Zau ke gendongannya.

"Mau berapa? Satu? Dua?" ucap Jibran lagi.

"Bunda." Suara Zean mengintrupsi mereka.

Windy menunduk menatap Zean.

Sembagi Arutala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang