Bab 21: Luka

569 134 28
                                    

Malam itu, Windy sedang duduk di sudut ruang tamu, memandangi layar ponselnya sambil menemani Zean dan Zau bermain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu, Windy sedang duduk di sudut ruang tamu, memandangi layar ponselnya sambil menemani Zean dan Zau bermain. Seharusnya, semuanya terasa biasa saja. Suasana rumah tenang, anak-anak sibuk dengan mainannya, dan Jibran masih di luar kota untuk acara kantor. Namun, notifikasi pesan yang tiba-tiba muncul mengubah segalanya.

Pesan itu berasal dari nomor yang tidak dikenal, tapi yang membuat Windy gemetar bukanlah identitas pengirimnya, melainkan isi pesan tersebut. Sebuah screenshot obrolan antara Jibran dan Bila—wanita yang selama ini diam-diam membuat Windy waspada—tampil di layar. Percakapan itu tampak begitu intim, terlalu akrab untuk ukuran hubungan antara rekan kerja.

 Percakapan itu tampak begitu intim, terlalu akrab untuk ukuran hubungan antara rekan kerja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Windy hanya bisa duduk diam, memandangi layar ponsel dengan tangan gemetar. Rasanya seperti bumi berhenti berputar sesaat. Tubuhnya lemas, dan ia merasa seperti tidak mampu bernapas. Kepercayaan yang ia miliki untuk Jibran seolah runtuh dalam sekejap. Apa ini nyata? Apa benar suaminya, lelaki yang selalu ia cintai dan percaya, mengkhianatinya?

Air matanya mulai mengalir, tapi Windy cepat-cepat menyekanya. Ia tidak ingin Zean dan Zau melihat. Dengan tangan yang masih gemetar, ia mengirim screenshot chat itu kepada Jibran lalu tanpa pikir panjang, memblokir nomornya. Dia tidak ingin mendengar penjelasan apapun sekarang. Penjelasan yang mungkin hanya akan menambah sakit di hatinya.

"Bunda, kenapa?" tanya Zau, yang tiba-tiba menyadari perubahan pada ibunya.

Windy berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa sangat pahit dan dipaksakan. "Enggak apa-apa, Sayang. Bunda cuma capek."

Zau menatap Windy dengan bingung. Zean ikut melihat sang Bunda. Anak kembar itu saling bertukar pandang. Seolah berbicara melalui batinnya, mereka dengan kompak beranjak memeluk Windy.

"Bunda kalau capek istirahat. Kakak sama Adek bisa main berdua, kok. Bunda enggak usah nemenin enggak apa-apa," ucap Zean sembari mengusap-usap punggung Windy.

"Iya, Bunda. Bunda habis ini ke kamal, ya," ucap Zau ikut menepuk-nepuk punggung sang Bunda.

Sementara Windy hanya duduk di sana, membalas pelukan kedua buah hatinya. Ia mencoba menahan air mata agar tidak jatuh lagi. Namun, tidak bisa. Tetesan bening itu kembali runtuh, mengalir membasahi kedua pipinya. Hatinya tidak bisa berhenti merasakan nyeri yang semakin mendalam.

Sembagi Arutala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang