Bab 14: Kondangan

953 189 45
                                    

Pesta pernikahan Ningsih dilakukan di kediamannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pesta pernikahan Ningsih dilakukan di kediamannya. Tidak terlalu mewah, tetapi juga tidak biasa saja. Masih mengusung kental adat Jawa dengan diadakannya upacara panggih dan segala rentetan kegiatan dalam pernikahan Jawa. Bedanya, jika Windy dan Jibran menggunakan konsep pesta berdiri, pernikahan Ningsih masih berjalan seperti konsep biasanya. Para tamu hanya perlu duduk tenang di kursi mereka masing-masing dan nantinya makan dan minum mereka akan diantar oleh para remaja yang bertugas sebagai sinoman.

Nyinom masih lestari dalam masyarakat Jawa. Kegiatan nyinom adalah aktivitas yang biasanya dilakukan oleh para pemuda atau remaja karang taruna untuk menyediakan segala hidangan berupa makanan dan minuman kepada para tamu dalam acara pernikahan. Mereka membantu si pendiri hajat sebagai pelayan tamu. Di sisi lain, kegiatan tersebut merupakan sebagai bentuk gotong royong dan empati terhadap sesama.

Windy menikmati serangkaian acara pernikahan Ningsih yang terlaksana dengan lancar. Hingga di penghujung acara, para tamu mengantre untuk berpamitan sekaligus memberi ucapan selamat kepada Ningsih dan Prima—sang suami. Mereka juga diberi kesempatan untuk berfoto bersama kedua mempelai pengantin yang seharian ini menjadi raja dan ratu di istana penuh bunga.

Windy, Jibran, Zau, dan Zean ikut masuk ke dalam antrean. Mereka ikut menunggu giliran untuk sampai berdiri di atas panggung. Windy terlihat cantik mengenakan dress di bawah lutut warna coklat berupa batik sarimbit yang senada dengan dress yang dipakai Zau. Rambutnya digelung rapi dengan hiasan jepet berbentuk bunga. Zau terlihat manis dengan rambutnya yang dikucir satu. Pita warna emas menghiasi rambut hitam legamnya. Zean dan Jibran kompak mengenakan kemeja batik juga. Bedanya, milik Jibran berlengan panjang sedangkan Zean berlengan pendek

Musik campursari yang dinyanyikan oleh penyanyi mengudara di siang yang sejuk itu. Melebur kebosanan para tamu yang hadir.

Windy tersenyum kala melihat Yafiq bersama rekan-rekan kepemudaan di desa berjoget di depan penyanyi. Perempuan itu menoleh ke arah Jibran.

"Enggak mau ikut joget, Mas?" tanyanya lalu terkekeh pelan.

"Enggak," jawab Jibran singkat. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya melihat tingkah Yafiq.

Windy selangkah lebih maju. Antrean semakin memendek. Di hadapannya ada wanita setengah baya bergamis silver yang cukup menyilaukan. Tidak lama kemudian, wanita lain yang cukup dikenalnya menghampiri mereka.

"Eh, Jeng Hesti! Jenengan datang, toh? Kok ra weruh aku," ucap Budhe Yanti menyapa seseorang di hadapan Windy.

Kedua wanita itu bercipika-cipiki. Seseorang yang dipanggil Hesti itu tersenyum dan balas menyapa Budhe Yanti.

"Lho... Jeng. Yo teko. Aku masih saudaranya si Prima."

"Masih sedulur, toh. Dunia ki pancen sempit, ya."

Windy ikut membatin. Dunia memang sempit sehingga ia yang awalnya senang tidak menjumpai Budhe Yanti harus melihat perempuan bermulut nyinyir itu.

Windy tersentak ketika pandangannya bertemu dengan mata Budhe Yanti. Dengan praktis, ia pun segera memberikan senyuman.

Sembagi Arutala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang