Bab 24: Kepergian

390 123 35
                                    

Jibran bangun lebih pagi dari biasanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jibran bangun lebih pagi dari biasanya. Mata lelahnya menatap foto keluarga kecilnya yang terpajang di dinding ruang tamu. Pikirannya kusut, penuh dengan perasaan yang tidak tertata. Ponsel di tangannya bergetar. Ada pesan masuk. Wajahnya langsung berubah begitu membaca kabar itu. Tidak lama kemudian, dering telepon menguasai ponselnya. Jibran pun segera mengangkat.

"Fiq! Enggak usah sembrono kamu!" ucap Jibran tidak terima.

Terdengar isakan lirih dari sana. "Mas. Akung beneran udah enggak ada. Akung udah pergi."

Kabar itu menghantam Jibran dengan keras. Tubuhnya serasa ambruk meski ia tetap berdiri di tengah ruang tamu yang hening. Nafasnya tercekat, pandangannya buram. Sesaat, dia hanya bisa menatap kosong ke depan, meresapi kenyataan pahit yang tiba-tiba datang tanpa peringatan.

"Innalillahi..." lirihnya dan air matanya mulai mengalir.

Eyang Krisnobroto—kakek yang membesarkan Jibran dengan penuh kasih sayang—telah meninggal dunia. Hatinya remuk seketika.

Langkah kaki menuruni tangga terdengar. Windy ikut terbangun dan hendak mengambil air minum. Namun, melihat suaminya yang terduduk dan menangis membuatnya mendekat.

Windy masih merasakan emosi tersisa dari pertengkaran mereka sebelumnya. Namun, ia juga merasakan ada yang berubah dari diri Jibran. "Mas?" panggilnya pelan, ragu.

"Akung... Eyang Kakung meninggal," suaranya pecah, nyaris tidak terdengar. Seperti ada batu besar yang menindih dadanya, membuat setiap kata yang keluar terasa berat.

Windy tersentak. Eyang Kakung, sosok yang selalu mereka hormati, telah pergi. Jibran menyodorkan ponselnya dengan tangan gemetar. Windy melihat layar, membaca pesan singkat dari keluarga Jibran. Tak menyangka kabar ini mereka dapati, Windy ikut merasa sesak yang mencekik. Air matanya mulai mengalir.

Meskipun hatinya masih dipenuhi oleh kemarahan dan rasa frustrasi terhadap Jibran, kesedihan mendalam yang terpancar di wajah suaminya membuat emosinya tergeser. Perasaan benci yang sempat meluap mulai memudar, tergantikan oleh simpati yang tiba-tiba meletup dari dalam dirinya.

Windy mendekat ke Jibran. "Mas," bisik Windy pelan. Ia pun perlahan memeluk suaminya. Meskipun masih ada amarah yang tersisa, keinginan untuk menyentuh Jibran dalam situasi seperti ini lebih kuat dari segalanya.

Jibran menerima pelukan itu. Pelukan itu hangat, tetapi ada sesuatu yang tetap terasa retak di dalam. Walaupun mereka sama-sama tenggelam dalam duka, jarak batin yang terbentuk sejak pertengkaran mereka tak kunjung pudar.

Tak butuh waktu lama, Windy, Jibran, bersama Zean dan Zau berkemas untuk berangkat ke Jogja. Perjalanan panjang diisi dengan keheningan. Zean dan Zau yang biasanya ramai, kali ini hanya duduk diam. Mungkin karena menyadari ketegangan di antara orang tua mereka atau masih tenggelam pada rasa bersalah atas insiden Zau yang terluka. Windy hanya bisa menghela napas panjang setiap kali matanya bertemu dengan Jibran. Dia ingin berbicara, ingin meredakan beban. Namun, tidak ada kata yang bisa menghapus luka mereka sekarang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sembagi Arutala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang