Bab 4: Nasgor dan Nomor

1.6K 257 70
                                    

Ada perbedaan dan kesamaan pada diri Windy dan Jibran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada perbedaan dan kesamaan pada diri Windy dan Jibran. Entah itu perihal kebiasaan, selera pakaian, minuman kesukaan, hingga berbagai jenis makanan.

Pasangan itu sama-sama suka lalapan, terutama daun kemangi. Mereka juga suka tempe mendoan, suka yangko, suka kopi walaupun harus mengurangi, dan yang paling kembar adalah mereka suka begadang. Tuntutan mengurus anak dan pekerjaan mengharuskan mereka membuka mata lebih lama untuk menuntaskan tugas-tugas mereka—sebagai orang tua sekaligus bekerja sebagai penulis dan programmer handal.

Jika hal-hal yang disebutkan di atas adalah kesamaan, kali ini ada banyak perbedaan di antara Windy dan Jibran.

Pertama yang paling utama adalah Jibran tidak suka durian sedangkan Windy suka. Jibran tim bubur diaduk sedangkan Windy tidak, walaupun terkadang perempuan itu suka bubur diaduk jika Jibran yang menyuapkan dan dengan catatan ia tidak melihat mangkuk suaminya. Ketiga, Jibran suka kepala ikan sedangkan Windy memilih ekor ikan. Jibran si paling kuat pedas sedangkan Windy harus menyetok susu pendamping agar lidahnya tidak terbakar. Lantas, hal yang tidak pernah tergantikan adalah Jibran si paling nasi goreng tanpa kecap sedangkan Windy harus berwarna coklat.

Setelah memiliki anak, perbedaan terakhir itu sepertinya tidak hanya 'tak tergantikan', tetapi juga sedikit 'merepotkan'.

"Bunda, Kakak mau kaya punya Ayah."

Windy menatap Zean setelah ia meletakkan piring berisi nasi goreng tanpa kecap di depan Jibran. Menu itu adalah menu ketiga yang ia siapkan setelah memasak nasi goreng tanpa kecap dengan rasa netral untuk Zean dan nasi  goreng kecap dengan rasa netral untuk Zau.

Pandangannya beralih pada piring Zean. Di depan putranya, nasi goreng tanpa kecap itu masih setengah piring. Zean sedikit mendorong piringnya ke depan.

"Punya Ayah pedas, Sayang. Itu punya Kakak juga belum habis. Dihabisin dulu," ucap Windy.

Windy bergerak menuju kitchen bar. Perempuan berdaster ungu dan mencepol rambutnya dengan jedai itu mengambil makanan pendamping yang tidak boleh absen untuk Jibran. Setelah itu, ia pun meletakkan semangkuk kecil berisi petai goreng di sisi piring suaminya. Makanan hijau tersebut juga menjadi perbedaan mereka.

Jibran masih membiarkan menu sarapan paginya. Laki-laki yang sudah tampan dengan setelan kerjanya itu tidak akan menyantap sebelum menu miliki istrinya siap.

"Kak, udah lupa sama nasihat Bunda? Enggak boleh mubazir," ucap Jibran.

Jibran mendorong piring Zean agar lebih dekat lagi dengan putranya. "Kasihan Bunda. Masa harus masak lagi buat Kakak."

Windy melangkah menuju kompor lagi. Ia mengambil botol kecap lalu menuangkannya pada nasi di wajan penggorengan.

Di kursi lain, Zau menatap Jibran dan Zean bergantian. Gadis kecil dengan rambut yang masih acak-acakan itu diam melihat ayah dan saudara kembarnya. Namun hanya sebentar. Setelahnya, ia sibuk menyantap nasi gorengnya lagi.

Sembagi Arutala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang