Bab 23: Kehilangan Kehangatan

558 142 19
                                    

Jibran dan Windy baru saja pulang dari Dream School

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jibran dan Windy baru saja pulang dari Dream School. Zau dan Zean langsung bermain berdua di ruang keluarga sedangkan kedua orang tuanya naik menuju kamar. Windy masih merasa marah. Wajahnya menunduk, seolah ada awan kelabu yang menggantung di atas kepalanya. Jibran tahu, mereka harus membahas ini. Sesampainya di kamar, Windy meletakkan tas kemudian melepas kancing kemejanya.

"Dek," Jibran memulai, suaranya lembut. "Aku enggak pernah ajarin Zean untuk pukul-pukul orang. Walaupun dia membalas dendam, tetap aja sikapnya salah."

Windy menatap Jibran tajam. "Oh, jadi Mas merasa lebih bijak? Mas, Zean juga masih anak kecil yang butuh perlindungan! Aku nggak bisa terima kalau kamu mengizinkan anak kita diperlakukan semena-mena."

Jibran menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Aku enggak mengizinkan dia diperlakukan semena-mena. Tapi, balas dendam dengan kasar enggak akan menyelesaikan masalah. Enggak sampai harus pukul dan bikin lawannya luka. Kita perlu mengajarkan dia untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik."

Windy menanggalkan kemejanya. Ia melangkah menuju almari untuk mengambil kaos. Perempuan itu tidak terima mendengar ucapan Jibran. "Kalau kamu enggak suka Zean pukul Kio, kenapa kamu sering ajak dia main samsak pakai guling? Zean perlu belajar melindungi diri! Aku enggak bisa mengandalkan Mas untuk mendidik Zean! Kamu lebih mentingin Bila sama anaknya dari pada perasaanku dan anak kamu sendiri!"

Jibran tertegun. "Dek. Bukan itu maksud Mas. Zean main dengan cara yang aman. Pukul guling bukan sama dengan memukul teman. Ini beda. Dan soal minta maaf ke Kio, itu bukan tentang Bila. Zean hanya anak-anak yang harus belajar dari kesalahan."

Mendengar nama Bila terucap dari bibir Jibran, emosi Windy semakin membara. "Tentu aja! Sekarang semuanya tentang Bila, kan, Mas? Zean itu anak kamu, Mas. Apa Mas nggak lihat betapa pedulinya Mas ke Kio dan Bila? Malah Zean yang Mas anggap salah. Zean enggak dapat dukungan dari ayahnya sendiri!"

Jibran merasakan sakit di dadanya. "Ini bukan tentang mereka. Ini tentang Zean dan Zau. Mas enggak peduli tentang Kio atau Bila! Yang Mas peduliin adalah cara kita mendidik anak-anak kita. Kita enggak bisa terus-menerus terjebak dalam pola pikir balas dendam. Apa yang Mas ajarkan adalah untuk tidak berbuat kasar."

Windy terdiam, tak bisa menahan air matanya yang jatuh. "Mas nggak ngerti gimana rasanya. Di sini, seolah-olah aku enggak bisa melindungi anakku sendiri."

Jibran mendesah, memijit pangkal hidungnya. Hening sejenak yang terasa mencekik. Ketegangan terasa si setiap sudut ruangan. Saat Jibran hendak kembali berbicara, suara pecahan kaca terdengar. Tak lama kemudian, diikuti tangisan keras dari lantai bawah. Jibran dan Windy terkejut. Rasa cemas menyergap keduanya. Pasangan itu langsung bergegas turun dan melangkah menuju sumber suara.

Saat tiba di ruang makan, pemandangan yang mereka lihat membuat hati Windy serasa berhenti berdetak. Zau, putri kecil mereka duduk di lantai menangis terisak dengan tangan dan kaki yang penuh luka berdarah akibat pecahan kaca.

Sembagi Arutala 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang