1

6.6K 695 50
                                    

“Kitty, beneran mau nemenin Mama?”

Andai saja aku tidak perlu tahu bahwa diriku ternyata bagian dari suatu cerita, mungkin hidup bisa kujalani dengan penuh semangat tanpa ekspektasi. Tidak perlu takut ancaman plot, hidup saja seperti seekor katak dalam tempurung. Mengapa oh mengapa? Mengapa ekspektasi hidup nyamanku harus pecah berkeping-keping?

Apa yang bisa kuperbuat?!

Aku hanyalah seorang bocah cilik berusia empat tahun! Bukan bocah biasa, sih. Sebab sekalipun aku cewek mungil ileran, tetapi ingatan dan informasi dari kehidupan terdahulu cukup membantu, sekaligus membebani, diriku.

Oke, tarik napas dan embuskan lewat mulut. Harus lewat mulut soalnya kalau lewat jalur belakang bisa-bisa Mama akan menertawakanku. Kentut mungkin tidak akan membunuh, tapi suara dan baunya cukup menghebohkan orang sekampung. Lupakan kentut! Hmm dari mana harus kujelaskan mengenai betapa gawat dan berbahaya situasiku kini?

Kulewatkan saja bagian pengenalan sebagai mantan korban kapitalis. Itu tidak penting. Siapa juga yang ingin tahu portofolio masa laluku? Tidak ada, ‘kan? Maka dari itu, sebaiknya kuceritakan mengenai sebuah kisah. Tepatnya, seonggok novel bertema dendam, amarah, dan kebencian. Bila ada tiga formula itu dalam suatu fiksi, dijamin pasti ujung-ujungnya tidak menjanjikan akhir bahagia.

Ya namanya juga pembaca doyan menyakiti diri sendiri dengan cerita nyesek, mana ada waktu memikirkan bahwa SUATU SAAT MEREKA AKAN MASUK DAN MENCICIPI ENAKNYA JADI KORBAN DI CERITA TERSEBUT? Alias, isekai. Tidak ada pertanda bahwa seseorang akan jadi kandidat penerima kewarganegaraan dunia lain. Tidak ada!

Baiklah, kembali ke fiksi. Jadi, dulu aku membaca novel yang mengisahkan mengenai perseteruan dua pria. Xavier dan Deon.

Xavier merupakan tokoh antagonis yang bertugas sebagai penjegal kepentingan Deon, si tokoh utama. Pertikaian keduanya dimulai dari kecil, piyik, masa-masa yang seharusnya mereka lewatkan dengan memikirkan besar nanti ingin jadi apa? Begitu.

Singkat cerita Xavier tidak menyukai Deon karena Deon merupakan anak hasil dari hubungan gelap ayahnya Xavier. Usia Xavier dan Deon pun hanya berbeda beberapa bulan. Itu artinya, ayahnya Xavier sudah melakukan perselingkuhan sejak lama.

Deon dibawa masuk ke keluarga Sanders, keluarga Xavier, dan diperkenalkan oleh ayahnya Xavier sebagai kakak. Notabene ibunya Xavier saat itu masih menjadi istri sah! Gilanya bukan hanya Deon saja yang dibawa masuk, melainkan ibu kandungnya Deon! Dasar lelaki buaya darat! Si ayah dengan bangga berkata, “Mulai sekarang dialah yang akan menjadi nyonya rumah.” Cerai! Lelaki itu menceraikan dan mengusir si istri sah!

Bisa dibayangkan bukan betapa dendam si Xavier kepada Deon?

Perlu kuingatkan, ya. Berhubung novel ini sinting bukan main, baik Xavier maupun Deon sama-sama tidak waras. Berdiri di kubu mana pun sama saja sakitnya. Tidak ada jaminan akan damai dan makmur.

Ih gampang dong. Yang penting tidak jadi tokoh penting dalam cerita, pasti aman. Eh atau lari saja. Lari sejauh mungkin.

Hahahahahaha itu sebelum aku tahu bahwa keluargaku nanti juga akan kena imbas dari perseteruan dua lelaki gila itu!

Darimana?

Kumulai dari sini, memperkenalkan keluargaku: Morri.

Aku punya kakak cowok bernama Clover. Dia tipe bocah lelaki dengan kepribadian cemerlang dan tipikal menantu idaman para ibu. Manis, penyayang, loyal. Sebut saja apa yang kalian inginkan, dia punya sifat hijau neon.

Akan tetapi, Clover pemegang bendera kematian! Dia berdiri di kubu Xavier. Rela menolong teman, mengorbankan waktu dan tenaga, dan pada akhirnya cuma jadi remahan roti. Menjadi lawan Deon sama artinya cari mati! Bukan hanya Deon mengeliminasi Clover, melainkan sampai merembet ke keluarga Morri! Itu artinya aku juga akan kena imbas! Dasar anak durhaka, kakak durhaka, pokoknya putra durhaka. Mengapa dia borong semua kedurhakaan?

Semua gara-gara pertemuan masa kecil antara Clover dan Xavier. Cuma perkara sepele, ‘kan? Tapi, buntutnya panjang sekali. Gara-gara Xavier dan ibunya yang memutuskan pindah sebagai tetanggaku! Cuma gara-gara itu!

Enak saja. Selama aku mampu, akan kuhalangi kebangkrutan keluarga!

“Ma, ikut,” rengekku dengan nada manja dibuat-buat. Asli manis banget. “Pokoknya ikut.”

“Kitty yang ikut? Bukan Kakak?” Mama sepertinya masih bimbang. Dia memperhatikan kue di tangan, lalu menoleh ke tangga seolah ingin memanggil Clover yang sedang asyik main game. “Nanti Kitty bosan. Kita mau ketemu tetangga baru.”

Iya, aku tahu! Karena itu biarkan aku saja yang menjadi asisten! “Ma, ikut! Ikuuuuuuuut!” Kupeluk salah satu kaki Mama. Lupakan harga diri. Sekarang yang penting ialah, menjadi penyelamat. “Papaaaaa, Mama mau ninggalin akuuuuuu!”

Papa yang sedari tadi duduk di sofa, sibuk membaca sesuatu di ponsel, pun tertawa. “Sudahlah, biarkan dia ikut. Jarang Kitty mau keluar rumah.”

Mama memperhatikanku yang makin mirip anak monyet. Peluk seerat mungkin, jangan lepaskan. Dia menghela napas sangat panjang dan mengembuskannya dengan berat. Kalah!

“Yeiy!” seruku terlalu riang.

Mama menggandeng tanganku. Dia mengajakku pergi ke seberang jalan. Tepatnya, ke rumah baru yang ditempati Xavier. Berhubung area yang kami tinggali termasuk elite, tidak perlu cemas ada kendaraan nyelonong lewat tanpa permisi. Di sini aman kok. Kecuali satu, ibu-ibu yang hobi mencubiti pipiku.

Kebetulan gerbang tidak dikunci. Ada celah yang cukup bagi kami lewati. Mama langsung menuju pintu, melepas tanganku, dan memencet bel. Dua kali pencet dan yang punya rumah pun muncul.

“Halo,” Mama memperkenalkan diri, “selamat datang. Eh, maksudnya halo tetangga baru.”

Aku memutar bola mata. Mama memang tidak bisa dipercaya urusan perkenalan diri. Mamaku cantik, tapi sedikit selooooow. Untung Papa setia dan tidak seperti suami wanita cantik jelita tiada tara yang ada di hadapanku ini. Ternyata mamanya Xavier cuaaaaaantik!

“Oh halo juga,” balas wanita itu dengan ramah. “Baru pindahan. Maaf belum sempat kenalan.”

“Nggak apa-apa. Emmm kalau enggak keberatan kue, eh.”

Curiga Mama juga kaget. Terpesona oleh kerupawanan mamanya Xavier. Bicara saja sampai belepotan. Mama lansung menyerahkan kue, yang untungnya sih diterima oleh bidadari jelita.

“Ouuuw,” kataku terpana. Terpesona, aku terpesona....

“Kenalkan, Kitty,” kali ini Mama bicara profesional sekali. Dia berjongkok dan memelukku. “Umurnya empat tahun.”

“Halo, Kitty.” Wanita itu juga ikut berjongkok. “Boleh cubit pipinya?”

“...” Awas saja Mama bilang iya. Akan kurampok seluruh jatah kue di rumah!

Mama terkikik genit. Ih centil sekali! “Boleh asal nggak keterlaluan.”

Mamaaaaaaa!

Wanita itu pun mencubit pipiku. Senyum di wajahnya terpoles indah seakan mencubit pipiku membuatnya bahagia tiada tara sampai tembus ke langit tujuh. “Lucu. Nggak seperti Xavier. Eh, sebentar. Ayo masuk. Kukenalkan dengan Xavier. Putraku ganteng lho.”

Siapa yang butuh Xavier? Menjauh dariku! Go awaaaaaaay!

“Wanwe, wudah wuhuuuu.” Terjemahan: Tante, sudah duluuuu. Pipiku melar nanti!

Alih-alih sadar dengan betapa terancam posisiku, Mama justru menerima tawaran teman barunya. “Eh, boleh kalau nggak ngerepotin.”

“Tentu saja enggak dong. Ayo masuk.”

Wanita itu memanggil asisten rumah tangga, meminta tolong membawa kue kiriman Mama ke dapur, dan begitu tangannya bebas....

Dia langsung meraupku dalam pelukan. Mama tidak keberatan aku digendong orang lain! Help! Tolooooong!

“Ih gemasnya,” puji wanita itu. “Kamu nanti harus sering main ke rumah Tante, ya? Harus!”

Tolong! Aku akan jadi korban penculikan! Tolong! Tasukettttteeeeeeeee!

***
Selesai ditulis pada 27 Maret 2024.

***
Cerita ini saya tulis untuk kepentingan hiburan semata. Hehehe. Semoga kalian sukaaaaa, teman-teman.

Love youuuuu.

P.S: Dear Helen hampir tamat.

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang