7

3.3K 603 47
                                    

Mati aku! Mati aku! Matiiiii aku tokoh utama tahu! Sepertinya dia mengenaliku sebagai balita biang kerok yang menyebabkan Rayand kena lumpur hina dan dina serta caci plus maki. Lihat tuh cara Deon memelototi ... oke, pelotot merupakan kata berlebihan dalam menggambarkan keadaan. Namun, bocah itu sungguh memperhatikanku persis predator menemukan mangsa.

Semoga saja Deon bukan tukang kompor. Semisal bilang, “Ma, balita gemoy nan menggemaskan itulah yang membuat Papa dipermalukan masyarakat.” Kalau sampai begitu, bisa gawat.

“Sungguh aku nggak keberatan ganti rugi telur yang pecah,” Mama ngotot melakukan kebaikan. Kadang ingin kugigit betisnya biar sadar. “Lagi pula, aku yang salah karena kurang hati-hati.”

“Eh nggak perlu,” Angel menolak. Untung dia tidak sadar bahwa akulah balita yang digendong Tante Sandra. “Namanya juga nggak sengaja.”

“Tapi, tetap saja aku nggak enak hati.”

“Nggak apa-apa kok. Tenang saja.”

Aaaaa berapa lama mereka berencana basa-basi, sih? Andai saja aku berusia tujuh belas tahun, maka di saat seperti ini akan kugunakan jurus kabur secepat copet dikejar polisi.

Tidak! Jangan menyerah! Selalu ada jalan asal ada niat. “Ma,” ratapku sembari membungkuk memegang perut, “sakit. Huuuu sakit.”

“Kitty, mana yang sakit? Mana?” Mama pun berjongkok, mengabaikan Angel dan Deon. “Aduh, Sayang.”

Mama pun menggendongku, lantas kepada calon masalah ia berkata, “Maaf. Anakku ... pokoknya maaf.”

Suara Mama terdengar persis piring pecah. Pilu. Bergetar. Sedikit rasa bersalah menyeruak di hati, tapi aku tidak akan menyesal. Semua demi kebaikan bersama. Bila tidak melakukan sesuatu, jelas Deon akan terus memelototiku dan membuatku menempati posisi teratas musuh yang perlu dibasmi dari semesta.

“Tunggu,” Angel menyela. “Biar kuantar.”

“...” Setan alas gundul pacul! Bukan ini yang kumau! Aduh! Sekarang perutku terasa seperti diremas oleh tangan beracun. Sakit bukan main. Wajahku mulai keringatan, jantungku berdebar kencang, dan tampaknya mau muntah.

Mengapa Mama tidak bawa mobil sendiri? Oh ya, lupa! Mama itu tuan putri yang biasa diantar jemput oleh Papa. Sialan!

“Huuuu sakit, Ma.” Aku menggerlung, berusaha membenamkan wajah di ceruk leher Mama. Tangan gemetar. Pandangan mata berkunang-kunang.

Entahlah. Mana langit, mana tanah, mana kanan dan kiri. Aku tidak memperhatikan sekitar. Sepanjang yang bisa kuingat hanyalah suara detak jantung Mama dan sekilas wajah Deon yang berubah pucat.

Karma. Pura-pura sakit berujung sakit sungguhan.

***

Masuk angin.

Dokter menyarankan agar dirawat inap, tetapi insting dalam diriku meraung. Rumah sakit terlalu seram. Lagi pula, aku tidak bisa ditinggal sendirian tanpa Clover! Bagaimana kalau ketika aku sedang terbaring di sini, di rumah sakit, si Clover terjerat tipu daya Xavier? Kutelan saja Mr. Villain biar jadi bubur di perutku!

“Kenapa nggak dirawat di sana, sih?” tanya Papa yang kini menggendongku. Kulingkarkan kedua tangan di leher Papa, menolak dipisahkan darinya. “Padahal sedikit demam juga si Kitty.”

Yups, rumah. Sekarang aku ada di rumah, jauh dari Angel dan Deon. Lega bukan main. Serius! Pasti sakit yang kuderita akibat stres dan beban mental. Tubuh balita tidak terbuat dari besi dan baja. Kami mudah sakit kalau kena tekanan dari masyarakat.

“Kitty nangis,” Mama menjelaskan. Dia sibuk membuat bubur. Sesekali melirik ke arahku, memastikan aku tidak berubah jadi alien. “Aku nggak sanggup lihat dia tertekan.”

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang