22

2K 350 4
                                    

“Tumben kamu nengok.”

“Kangen,” balasku sembari membimbing Clover agar lekas mengikutiku. Maksudku, segera keluar dari ruang kerjanya yang terasa pengap dan menyesakkan. Apalagi kalau bukan karena tumpukan laporan, tatapan sengit pekerja, dan deretan kubikel yang sempat kulihat sebelum masuk ke ruang kerja milik Clover.

Masa bodoh. Aku tahu abangku bos, tapi menyaksikan penderitaan pekerja kerah putih membuatku ingin kabur. Hidup sungguh penuh cobaan. Terutama bila saldo di rekening tidak lebih dari sekumpulan pundi-pundi kempis. Menyedihkan.

“Kamu boleh kangen, tapi nggak perlu menyeret tanganku.”

Aku mengabaikan protes Clover. Kami langsung masuk lift dan memencet nomor tujuan. Kebetulan di dalam lift tidak ada siapa pun selain aku dan kakakku.

Bila diamati dengan mata sehat, alias tidak kelilipan, Clover sangat menggoda. (Bukan bagiku, tapi bagi orang lain.) Dia mengenakan kemeja warna biru cerah, dasi bergaris, dan celana yang tersetrika rapi. Persis penggambaran pria CEO dalam novel dewasa yang mengutamakan pesona roti sobek. (Aku tidak yakin Clover punya ABS. Nanti saja kutanya calon istrinya.)

Iya, sangat berbeda dengan penampilanku. Kaus putih longgar bergambar kartun stroberi (oh aku punya banyak koleksi kaus warna putih). Celana jins pudar. Sepatu tali putih bergambar kartun semanggi. Rambutku digelung asal jadi. Wajahku hanya mengenakan tabir surya. Riasan mentok di liptint.

Hei aku juga ingin bersolek. Hanya saja kemampuanku tidak bisa kuandalkan. Barangkali mempercantik diri tidak termasuk dalam salah satu kelebihan yang disuntikkan dalam diriku. Sialan.

Setelah mencapai lantai yang kutuju, lekas saja aku dan Clover melenggang keluar dari kantor. Kuajak dia pergi ke kafe terdekat. Pada dasarnya aku tidak peduli tempat makan mana pun. Asal ada menu yang kusuka, oke. Pinggir jalan, angkringan, gerobak kaki lima, apa pun.

Kafe yang kami datangi bernuansa ala negeri milik kutu buku. Aku melihat poster bertuliskan kutipan novel terkenal. Ada bermacam rak di setiap sudut. Masing-masing berisi buku. Musik yang diperdengarkan lewat pelantang suara pun menyenandungkan irama lembut.

Bagaimana cara mencuri hati?
Katakan padaku, lekas katakan!
Bagaimana cara mencuri hati?
Katakan padaku, lekas katakan!

“...” Akan kutanya kepada maling profesional mengenai teknik mencuri hati. Nanti.

Clover memilih sebuah meja dekat jendela. Pelayan bercelemek hitam datang menghampiri meja kami. Aku tidak memesan apa pun sebab abangku yang memonopoli. Dia menyebutkan sejumlah menu. Persis raja yang tidak mau tahu pendapat penasihat. Keterlaluan.

“Kitty, adikku, tumben kamu ingat punya kakak.”

Sindiran Clover masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Aku hanya mengangguk-angguk, pura-pura mendalami ilmu semesta raya. “Kak, kenapa jarang mampir ke apartemenku?”

Salah satu alis Clover terangkat. Di saat seperti itu, ketika dia mulai kurang ajar, ingin kujambak rambutnya sampai berantakan. “Bukannya kamu sibuk pacaran? Dengan Xavier, ‘kan? Bahkan sekadar mengabarkan mengenai hubunganmu saja kamu enggan.”

Mataku melotot. Bisa saja kedua bola mataku melompat ke luar. Langsung menghantam permukaan meja sebelum jatuh menggelinding ke lantai gara-gara mendengar sindiran Clover.

“Kukira Kakak sudah tahu dari Mama,” kilahku mencoba membela diri. Diri sendiri yippie!

“Harusnya kamu cerita dulu ke aku.”

“Sekarang mau cerita. Nah, Kakak, aku pacaran dengan Xavier. Tolong doa restunya.”

Pasti dia ingin menggamparku deh. Pasti.

“Apa kamu yakin dengan pilihanmu, Kitty?”

Sebenarnya aku ingin menjawab, “Tidak yakin.” Namun, berhubung aku telah melakukan segala usaha menjauhkan Clover dari Xavier, terbukti gagal, maka aku mencoba cara lain: pacaran dengan Mr. Villain.

Aku tidak tahu definisi cinta. Setidaknya aku yakin cukup suka dan senang berada di dekat Xavier. Steve pernah bilang suka dan naksir aku, tapi ketika berada bersamanya tidak kutemukan perasaan nyaman yang biasa kudapat bersama Xavier. Itu saja sudah cukup menjadi tanda bagiku.

“Justru yang ingin kutanyakan ialah, mengenai Xavier,” ungkapku dengan nada acuh tak acuh. “Apa dia yakin mau bersama denganku dibanding perempuan seksi mana pun?”

Clover merengut. Dia hendak mengatakan sesuatu, tapi kehadiran pelayan yang mengantar pesanan kami pun mengintrupsi percakapan. Setelah meletakkan pesanan, si pelayan pergi dan kembali bersama rekannya.

“Dia pasti sadar dengan pilihannya kok,” ujar Clover berusaha menenangkanku dari pikiran konyol. “Aku kenal dia. Bukan bocah menyebalkan seperti Steve.”

Ingin kutertawakan Clover saat ini juga. Dulu Steve pernah izin kepada Papa, bilang, “Boleh pacaran dengan Kitty?” Padahal dia masih bocah cilik. Saat itu ada Clover yang tentu saja langsung maju di barisan depan, menolak, lalu memperingatkan Steve agar jangan sembarangan mendekatiku.

Andai Clover tahu bahwa Steve versi dewasa pun masih sama menjengkelkannya. Dia sempat menembakku, beberapa kali. Kutolak semua karena hatiku tidak ingin dengan orang selain ... hmm yang istimewa?

“Bagaimana kamu tahu bahwa orang itu memang istimewa?” tanyaku sembari mengagumi hidangan ayam goreng dan salad. Pilihan bagus. “Aku bahkan nggak yakin dengan diriku sendiri.”

“Nggak ada yang punya jawaban pasti,” jawab Clover, bijak. “Kalau semua orang tahu pilihannya tepat, nggak ada yang namanya pacaran dengan tukang selingkuh.”

“...” Sepertinya beda kasus, tapi ya sudahlah.

Kami tidak bicara apa pun setelahnya. Hanya makan dan menikmati lagu. Kali ini lagu yang didendangkan oleh seorang cewek bersuara manis. Lagu bertempo cepat dengan lirik jenaka.

Kupikir kamu yang terbaik.
Kupikir kamu setia.

Bohong! Bohong! Bohong!
Kamu punya cewek di tiap tikungan!
Bohong! Bohong! Bohong!
Selingkuhanmu benar-benar murahan!

Pergi saja!
Pergi saja!
Aku nggak butuh cowok pembohong!

“Kak, kenapa ada lagu begini?”

Clover terkekeh. “Barangkali penulis lagunya korban tukang selingkuh.”

Itu tidak menjawab rasa penasaranku!

“Kitty, apa pun yang kamu putuskan,” ujarnya dengan nada tenang. “Aku akan mendukungmu. Kamu nggak perlu cemas mengenai Xavier. Seperti yang kukatakan tadi, dia anak baik. Dia belum pernah pacaran dengan siapa pun.”

“Sama seperti Kakak dong? Nggak laku?”

Lagi-lagi kerutan muncul di kening Clover. “Aku belum nemu cewek yang cocok denganku.”

“Atau cowok, uhuk, yang ... iya, aku mengerti! Nggak perlu melotot gitu! Aku, kan, hanya bercanda. Kalaupun Kakak suka cowok daripada cewek, sebagai adik aku hanya bisa mengadukan ke Mama-iya, paham! Nggak perlu mengancam mengumbar informasi kepenulisanku! Aku paham! Oke, turunkan tanganmu dari ponsel dan mari kita bicara baik-baik.”

Aduh! Hampir saja keselamatanku terancam!

Setelah mengembuskan napas secara kasar, Clover bicara, “Urusan hatimu itu bukan kewenangan siapa pun selain dirimu sendiri. Sebagai Kakak aku nggak akan membiarkanmu memilih cowok nggak beres.”

Cih dia sendiri sering menghalangi usahaku melepas status jomlo. Dasar tidak mau tahu saja!

“Jadi, khusus Xavier,” lanjutnya dengan nada bangga. “Aku nggak keberatan.”

Berapa sogokan yang dibayarkan Xavier hingga berhasil meluluhkan hati Clover? Padahal aku bermaksud melembutkan hati kakakku karena keputusanku pacaran dengan Xavier. Ternyata.... Hahaha itu tidak perlu!

***
Selesai ditulis pada 19 April 2024.

***
Terima kasih telah mampir menengok Kitty. Huhuhu saya senang. Pokoknya terima kasih telah menemani saya menulis Kitty.

I love youuuu, teman-teman. Semoga hari kalian selalu menyenangkan dan dihadiahi banyak kegembiraan!

Salam cinta dan sayang.

Love.

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang