21

2.2K 372 9
                                    

Aku tidak suka mengetahui fakta mengenai editorku yang bernama Irene. Dia seperti tokoh utama dalam novel romansa; diberkahi latar belakang mengagumkan, punya cowok keren, dan tanpa bekerja pun bisa makan tiga kali sehari. Perlu kugali informasi terkait keinginan editor sialan itu memintaku menulis tokoh dengan nama Jupiter. Sekali, kebetulan. Dua kali, sedang sial saja. Berkali-kali, pasti sengaja. Memang kurang ajar editor satu itu.

“Kenapa?” tanya Xavier yang duduk di sampingku. “Berencana menambahkan nama baru ke dalam novelmu?”

Kami berdua, aku dan Xavier, baru saja pulang dari acara cuci mata. Sebenarnya begini ... aku bosan. Jadi, kuajak saja dia berkeliling ke mana pun yang menurutku menarik. Mulai dari restoran cepat saji hingga kafe buku yang kebetulan tengah mengadakan diskusi perihal penggambaran tokoh perempuan di mata penulis lelaki.

Serius cukup menantang. Bukan jalan-jalan bersama Xavier yang kumaksud, melainkan mendengarkan orang debat terkait penulisan karakter cewek di tangan penulis lelaki. Sebagian beranggapan bahwa kebanyakan penulis lelaki hanya menarasikan perempuan secara visual, dikeruk berdasarkan segi sensualitas tanpa menonjolkan betapa kurang sumbangsih tokoh perempuan dalam cerita. Sementara sisi lain, orang yang beda pendapat, memberi opini tentang penokohan perempuan yang bisa saja digali lebih dalam tanpa unsur erotisme.

Sepanjang diskusi aku jadi tim pendengar. Sekalipun aku penulis, tapi bukan berarti diriku punya kebijaksanaan mahabesar. Tidak ada. Aku menganggap diriku sangat dangkal, jauh dari kata luar biasa. Sama sekali.

Xavier menjulurkan tangan. Dia membelai lembut kepalaku seolah aku ini seekor kucing liar yang bisa saja memberinya satu dua luka cakaran. “Aku nggak keberatan mendengarkan semua keluhanmu.”

Pandangan mataku jatuh ke jejeran buku yang ada di rak dekat meja. Terus terang tidak ada genre khusus dalam kamus bacaan milikku. Percintaan, misteri, komedi, bahkan kumpulan coretan; semua bisa kubaca dengan tenang tanpa memikirkan harus membedah isinya secara mendalam. Aku mau saja baca novel mengenai anak geng yang ditulis oleh remaja SMA atau komik mengenai petualangan seekor monyet. Asal aku suka, pasti kubaca.

Hmmm kepalaku penuh dengan bermacam pikiran.

“Xavier, apa kamu juga baca novel percintaan yang ditulis oleh perempuan?”

“Oh jadi kamu masih kepikiran dengan diskusi di kafe barusan?” Xavier menyimpulkan kegundahanku. “Kitty, aku bukan pembaca novel. Mayoritas buku yang ada dalam rak milikku ialah, nonfiksi yang berkaitan dengan pekerjaan dan kebutuhanku. Namun, bukan berarti aku alergi dengan novel yang ditulis seorang perempuan. Buktinya, aku baca tulisanmu.”

Aku pun mendengkus, pura-pura tersanjung mendengar pujian Xavier. “Beda. Itu karena kamu tahu siapa identitas si penulis. Bukan murni tertarik karena ingin terjun ke dalam cerita, ‘kan?”

“Memang apa salahnya?”

Alih-alih menjawab, aku hanya mengedikkan bahu. Cepat.

“Kitty, apa yang dikatakan orang-orang itu mengenai preferensi bacaan maupun kepenulisan tidak harus kamu telan bulat-bulat. Wajar kalau perempuan merasa resah dijadikan sebagai objek dalam suatu karya. Apalagi bila karya tersebut sibuk mengeksplotasi perempuan dalam segi yang merugikan. Memangnya siapa yang nggak marah kalau dilabeli sebagai jalang atau makhluk yang haus validasi? Pasti marah. Namun, nggak semua penulis cowok maupun kreator seni gemar menampilkan perempuan semacam itu.”

“Ya,” kataku menyahut, “aku sempat debat kusir dengan kenalanku semasa kuliah mengenai cara perempuan menggambarkan karakter cowok dalam suatu karya. Menurut mereka, kenalan cowokku, penggambaran tokoh fiksinya terlalu tidak masuk akal.”

Xavier terkekeh. Suara tawa Xavier begitu merdu dan membuatku tenang. Dengan sengaja aku menyandarkan kepala ke bahunya. Berharap bisa memindahkan beban hidupku kepada pacarku yang entah bisa jadi calon suami masa depan.

“Pasti karena penulis cewek menggambarkan cowok sebagai makhluk pengertian yang bersedia diajak diskusi?” Xavier menebak asal muasal perdebatan sengit di masa laluku. “Kenalanmu akan bilang, ‘Nggak masuk akal.’ Kupikir itu karena dia nggak mau mencoba mengenal dekat cewek dan hanya mau tahu dirinya dipahami saja, berlindung di balik kata realitas. Pantas saja banyak penulis cewek yang menuliskan keresahan mereka mengenai percintaan. Bukan karena demi kepentingan komersil, melainkan sebentuk usaha menyadarkan bahwa beberapa cowok perlu berusaha jadi pendengar yang baik.”

Hihi lucu sekali andai aku berkata, “Xavier, kamu juga termasuk makhluk fiksi yang ditulis oleh penulis cewek.” Namun, yang ada nanti aku dicap gila. Haha tidak usah. Terima kasih.

“Aku yakin ada banyak cowok baik dan bertanggung jawab,” Xavier melanjutkan. “Mereka ada di belahan dunia mana pun, menanti ditemukan oleh orang yang tepat.”

“Apa kamu termasuk?”

“Kalau itu, kamu perlu mencoba mengenalku lebih dalam. Bagaimana kalu besok kita nikah dan kamu buktikan sendiri?”

“...”

Maumu! Teriakku dalam hati.

***

Kuputuskan memasukkan nama Irene ke dalam novel terbaruku.

Biar saja dia mengamuk. Aku tidak peduli! Anggap saja kompensasi. Enak baginya menyuruhku menulis Jupiter begini dan begitu. Dia, kan, tidak mendapat ancaman maupun perlu memikirkan keberlangsungan hidup andai Jupiter mengamuk.

Fiuuuuuh. Untung Jupiter tidak mengamuk. Mungkin juga dia tidak membaca tulisanku. Haaa itu penjelasan yang bisa kuterima. Jelas sekali.

Aku sibuk menulis episode perdana cerita terbaruku. Hmmm dimulai dari ini:

Tidak ada siapa pun. Hanya aku seorang. Dunia telah berubah. Semenjak makhluk-makhluk itu bermunculan dari dalam kegelapan, menyerang dan memburu manusia, kemudian mengubah semesta jadi neraka ... tidak ada siapa pun yang berani berharap. Atau, memang sedari awal tidak pernah ada yang namanya harapan. Manusia terlalu percaya bahwa sekeras apa pun mereka berusaha, maka akan ada jalan. Nyatanya tidak. Akhir telah tiba dan semua orang harus bersiap menghadapi realitas.

Di sekelilingku hanya ada kehancuran. Kutatap pantulan diriku yang ada di kaca jendela. Rambut acak-acakkan, wajah kotor, dan bibir pecah. Nama yang selama ini kuanggap penting pun perlahan memudar dalam ingatanku. Irene.... Irene. Aku mencoba mengenang beberapa hal tentang diriku. Kehidupan yang dulu pernah menjadi milikku. Sekarang aku tidak memiliki apa pun selain kesendirian dan kesia-siaan. Semua orang telah pergi. Mereka mati dimangsa makhluk-makhluk haus darah dari neraka.

Apa aku harus berhenti, menyerah, dan membiarkan kegelapan menelanku?

Sempurna! Lekas kukirim contoh awal tulisanku kepada editor. Biar saja dia mengamuk dan mencecarku dengan makian. Aku siap! Sangat siap menghadapi hal terburuk dari yang terburuk! Hoho siapa suruh membuatku merasa terancam, ‘kan? Biar editorku tahu rasa! Buwahahahaha.

Satu menit, dua menit, dua puluh menit kemudian ada pesan masuk.

[Sayangku, Semanggi! Aku suka dengan pilihan nama tokoh utamamu kali ini. Kamu memang genius. Tokoh Irene ini pasti keren, kuat, dan bisa menghadapi semua rintangan. Jangan lupa segera kirim lanjutannya kepadaku, ya?]

Heh?

Hah!

Kenapa dia langsung menerima ide gilaku? Sekarang aku harus melanjutkan menulis cerita yang bahkan tidak kurencakan sebagai cerita penting!

Sebal!

***
Selesai ditulis pada 18 April 2024.

***
Terima kasih telah mampir menengok Kitty. Ihihihi. Terima kasih juga atas koreksi typo. :”)

Hmmm saya hanya menulis cerita ini demi kepentingan santai, nggak ada topik berat karena kepala saya bisa sakit mikirnya. Oh ya, jumlah episode di sini juga nggak banyak kok.

P.S: Terima kasih atas limpahan cintanya, teman-teman.

P.S: Jangan lupa jaga kesehatan, ya?

P.S: Love you, teman-teman.

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang