8

3.1K 548 30
                                    

Aku tidak ingin kembali ke rumah. Bukan bermaksud ingin kabur, sih. Berhubung di sana ada ranjau darat, makanya keinginan kabur jauh lebih besar daripada menunaikan kewajiban kepada orangtua. Tante Sandra sangat bersemangat menghantuiku. Bayangkan perasaanku yang setiap hari mendapat kiriman pesan. Kira-kira begini:

“Xavier makin ganteng lho. Apa kamu nggak ingin daftar jadi mantu Tante?”

“Kitty, Xavier kangen berat. Di luar negeri nggak ada cewek semanis kamu. Itu kata Xavier, bukan Tante yang ngomong.”

“Lihat deh. Apa kamu nggak kasihan dengan Tante yang sibuk kerja siang dan malam? Tante juga ingin pamer mantu.”

“Kenapa kamu harus tinggal di apartemen, sih? Di rumah Tante juga bisa. Memangnya kamu nggak takut dikuntit cowok asing?”

Dengan segenap semangat hidup yang kedap-kedip, aku tidak tertarik menempel di ketiak Mama karena ingin mandiri. Lagi pula, Tante Sandra ikut menyumbang sebagian besar alasan tidak ingin bertahan di rumah. Terlebih setelah aku menyadari bahwa dia berencana menjodohkanku dengan Xavier. Selamat tinggal saja deh. Aku masih sayang nyawa. Bereskan dulu sengketa keluarga, baru kupikirkan jodoh.

“Wajahmu asem bener,” cerocos Steve seolah bisa mengendus perubahan suasana hati. “Kenapa? Ditolak cowok? Makanya waktu kuajak pacaran kamu mau dong.”

Aku dan Steve janjian ketemu di salah satu kafe yang ada di dekat apartemenku. Hubunganku dengan Steve, teman masa kecil mungil ileran, ternyata awet. Sekalipun dia pernah menyatakan perasaan dan kutolak, kami masih baik-baik saja setelah sekian tahun. Dia bekerja sebagai ... hmm aku tidak tahu pekerjaannya. Terus terang tidak ingin tanya juga. Pasti dia sukses karena selalu mengenakan pakaian necis dan wangi. Wajah Steve juga jauh dari tempelan debu, sentuhan asap knalpot, dan tetesan keringat.

“Steve, aku nggak niat pacaran dengan siapa pun,” gerutuku sembari menyuap sepotong kecil kue stroberi. “Capek. Nggak ada waktu buat diri sendiri.”

“Pasti kamu salah pilih pacar,” cetusnya sok tahu. “Seharusnya kalau kamu pacaran dengan orang yang tepat, hanya rasa senang dan semangat saja yang kamu rasakan.”

Salah satu alisku naik. Mendengar ocehan Steve mengenai pacar membuatku gatal. “Punya pacar jadi tolok ukur pencapaian tertinggi, ya? Perlu banget setiap ketemu ditanya pacar, pacar, pacar.”

Steve terkekeh. Dia hanya menggeleng pelan dan mulai menyeruput kopi. “Ya enggak dong. Aku nanya begitu cuma ingin tahu saja.” Kali ini dia mengedip genit. “Siapa tahu masih punya kesempatan buat deketin kamu. Jadi, masih jomlo? Mau jadian denganku?”

“Enggak,” aku menolak.

Meski sudah mendapat penolakan, Steve tidak cemberut. Dia hanya tertawa pelan seakan telah menduga jawaban itu akan keluar dari mulutku. Sesekali dia cerita mengenai artis cowok yang tengah mengudara dan digemari oleh masyarakat. Lalu, penyanyi cewek yang mendapat penghargaan.

“Kamu ngikutin gosip, ya?” sindirku sembari menyipitkan mata.

“Pekerjaan,” balasnya, singkat. “Nggak ingin tahu pekerjaanku?”

“Nggak. Jangan bahas pekerjaan deh. Pusing.”

“Memangnya kamu ada masalah di kantor? Itu kalau benar kamu bagian dari pekerja kerah putih. Atau, kamu berniat pindah? Aku ada tawaran pekerjaan. Jadi, editor? Mau? Ehem aku punya usaha penerbitan yang lumayan keren lho.”

“Enggak, Steve. Jadi editor bukan impianku. Memangnya kamu nggak akan kena teror pekerja karena memasukkan seseorang lewat jalur belakang, ya?”

Dia mengedikkan bahu. “Buat kamu akan kulakukan apa pun. Naik gunung pun oke.”

Aku berniat membalas Steve, tapi suara bisik-bisik tetangga mengalihkan perhatianku. Mau tidak mau aku pun menengok ke arah sumber suara. Seorang perempuan tinggi semampai masuk ke kafe. Aura yang ia miliki luar biasa. Bukan main terangnya. Dia mengenakan celana jins, atasan ketat warna hitam. Superketat hingga aku merasa sesak napas membayangkan kain itu bisa saja robek di saat tidak terduga.

“Wow ada Misca,” bisik Steve. “Dia artis yang sedang terkenal gara-gara film....”

Apa pun yang Steve ucapkan, aku tidak bisa mendengar kelanjutannya. Mataku mengekori Misca yang berjalan menuju lantai dua.

Cewek keren, pikirku. Beda sekali denganku yang hanya mengenakan celana jins selutut, kaus ukuran XL, dan rambut digelung apa adanya. Wajah hanya mengenakan pelembab dan tabir surya. Riasan yang kugunakan cuma liptint. Cantik butuh usaha dan ketekunan. Nah aku tidak punya ketekunan dan biaya cantik itu mahal! Total saja harga kosmetik dan perlengkapan untuk perawatan wajah.

“Cantiknya,” pujiku sembari berharap bisa ikut seksi tanpa usaha keras. Aku benci olahraga dan kerja keras. Pinggangku encok! Bahuku pegal! Terkutuklah kapitalis ini.

“Kamu cantik lho, Kitty. Tampilan sederhanamu saja mampu membuatku berdebar, apalagi yang ekstra.”

Dahiku pun berkerut. Duh tidak bisa mendengar pujian model begitu. Kesannya mengasihaniku. “Itu karena kamu temanku. Coba kalau kamu kenal di jalan doang. Pasti biasa saja.”

“Makanya terima cintaku biar aku modalin cantiknya.”

“Modalnya mahal,” cibirku. “Serius mau modalin? Kamu tahu enggak harga perlengkapan merawat kulit buat cewek itu nggak hanya satu. Ada banyak dan harganya mahal.”

“Aku modalin.”

“Sayangnya aku nggak pengin kamu modalin.”

Steve memasang ekspresi melucu. “Hei jarang lho ada cowok yang bersedia memodali pasangan. Biasanya, kan, cowok mau terima jadi saja. Nggak peduli dengan modal yang cewek habiskan untuk merawat diri. Nah lihatlah aku, Kitty. Kamu nggak perlu takut kuajak berjuang dari nol. Nggak usah ikut susah.”

Ide pintar pun melintas di kepala. “Sebentar.” Lalu, kupencet nomor Clover. Setelah denting kedua, panggilan tersambung. “Kak, ada cowok yang pengin nikahin aku.”

“Tolak,” balas Clover.

Kemudian sambungan terputus.

“Hmmm begini, Steve,” aku berusaha menjelaskan. “Kakakku nggak ngebolehin aku nikah. Kamu cari yang lain. Serius hubungan kita nggak enak kalau lebih dari sekadar teman. Aku nggak bisa nerima sahabatku. Oke?”

“Oh karena itu?” Steve nyengir. “Bukan karena cowok yang hmmm anak tetanggamu? Siapa? Oh ya, Xavier! Dulu aku sempat main ke rumahmu dan diserang secara membabi-buta oleh seorang perempuan. Tetanggamu!”

Kenangan menyedihkan. Jadi, Steve main ke rumah. Tante Sandra yang melihat kehadiran Steve pun langsung beraksi. Dia bicara, “Oh mau jadi pacarnya Kitty? Aduh nggak bisa. Kitty udah Tante pesan jadi mantu. Kecuali kamu bisa mengalahkan anak Tante.” Bayangkan betapa malu diriku.

“Iya,” aku amini saja ide Steve. Daripada dia terus menghantuiku, lebih baik kulemparkan saja beban hidup kepada Xavier. “Kamu berani?”

Mendadak wajah Steve pun pias. Seolah aku baru saja menyuruh dirinya turun ke neraka dan menghabisi anjing berkepala tiga milik Hades. “Kitty, kamu pura-pura nggak tahu atau memang sebegitu cueknya?”

“Iya, jodohku sudah dipersiapkan oleh keluarga. Sebetulnya nggak pengin cerita, tapi ... hmmm terpaksa.”

“Xavier? Kamu serius dengan tetanggamu yang kini....”

“Kini apa? Udahlah, Steve. Xavier manusia biasa. Paling kerjaannya jadi budak korporat. Sama saja denganmu.”

“Bedaaaa!”

Ponselku berdenting. Pesan baru dari salah satu editor.

[Bagus! Aku suka Jupiter dibikin ngenes! Kalau bisa kamu tambahkan adegan sadis! Aku nggak keberatan bacanya.]

Mengapa editor yang satu ini amat bersemangat menjahati karakterku?

***
Xavier: Masih kupantau dari jauh.

***
Selesai ditulis pada 4 April 2024.

***
Syalalalalalalalalalaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang