Sepulang dari pesta aku bermimpi. Bukan mimpi menyenangkan, sejujurnya. Andai boleh, maka lebih baik memohon mimpi bertemu tukang tagih utang daripada apa pun ... itu!
Aku bukan anak menyenangkan. Terus terang aku sangat jelek. Tubuhku jangkung, tapi kerempeng. Kulitku berwarna sawo matang cenderung gelap. Jumlah lipatan di kelopak mataku antara yang kanan dan kiri tidaklah sama. Hidungku besar dan berminyak. Sering mendapat komentar buruk terkait bentuk hidungku yang menurut sebagian orang menjijikkan. Bibirku tebal, kering, dan kadang mengelupas.
Tidak ada hal indah berasal dari diriku, menurut mayoritas manusia yang bersosialisasi denganku. Aku tidak punya teman. Mana bisa menyebut anak-anak SMA yang sekelas denganku sebagai teman? Notabene mereka sering mengolok dan menjadikanku bahan lelucon. Tidak ada yang bersedia memanggil namaku. Mereka sering memanggilku dengan julukan tidak lucu. Aku tidak boleh marah karena menurut mereka itu artinya aku tidak menghargai usaha mereka membuat lelucon mengenai diriku. Mereka akan melabeliku sebagai pundungan, mudah marah.
Orangtuaku pun tidak lebih baik. Mereka sering bertengkar, adu mulut tiada akhir, dan setiap kali berusaha saling menyalahkan atas kemiskinan yang kami alami. Di rumah seperti neraka, di sekolah sama buruknya. Aku tidak punya tempat melarikan diri selain ketika memejamkan mata dan larut dalam tidur.
Setiap kali ke sekolah hanya mengulang kejenuhan tiada akhir. Guruku pemarah. Sungguh sial diriku mendapat guru menyebalkan, sementara anak lain bisa bertemu guru asyik. Setiap kali mengajar pasti ujung-ujungnya aku yang dijadikan tumbal entah oleh anak sekelas maupun guru.
Lalu, suatu hari ada cowok dari kelas sebelah yang mendadak menunjukkan ketertarikan kepadaku. Apa akhirnya hidupku akan seperti di drama remaja? Jawabnya, tidak sama sekali. Semenjak cowok itu muncul, hidupku makin buruk. Anak sekelasku, terutama cewek, sering menjadikanku bahan lelucon dan berkata, “Kamu tuh seharusnya bersyukur ada yang suka. Wajahmu jelek banget gitu. Pasti dia matanya belekan.”
Hah seolah aku ingin ditaksir oleh cowok itu saja? Hei, aku bahkan tidak tahu mengenai namanya! Hanya tahu kelasnya saja. Apa salahku sehingga pantas dihina dan direndahkan sedemikian rupa? Memangnya aku minta lahir dengan wujud demikian? Aku hanya ingin menyelesaikan SMA dengan damai, lulus, dan dapat pekerjaan. Itu saja. Harapanku tidak ada yang istimewa semacam menaklukkan dunia, jadi anime, atau membasmi zombie. Tidak ada!
Maka, aku pun memilih pulang ketika semua anak telah pergi agar tidak perlu bertemu cowok itu. Setiap kali dia muncul, aku akan bersembunyi. Sungguh melelahkan.
Parahnya baru kutahu ternyata cowok, yang naksir aku, adalah mantan dari cewek terbeken di kelasku. Jangan tanya keadaanku saat itu. Buruk bukan main! Cewek itu main kotor; mengajak anak buah mencelaku, mengincarku dalam setiap debat pelajaran, dan membuatku terlihat seperti orang kena gangguan mental di hadapan wali kelas.
Oleh karena itu, dapat mimpi buruk mengenai masa lalu benar-benar menjengkelkan. Aku bangun dengan kondisi kepala pening, mulut kering, dan ingin menghancurkan sesuatu. Terlebih bel di pintuku berdenting tiada henti ... eh bukan bel pintu, melainkan suara ponselku!
Cepat-cepat aku berguling dari ranjang. Sempat kakiku terbelit selimut, membuatku jatuh berdebum di lantai. Nyeri menampar pinggul. Nyuuuuut, nyuuuut, nyuuuut. Ingin kumaki pagiku yang tidak ramah. Susah payah aku merangkak karena kakiku memilih bercengkerama dengan selimut. Tanganku menggapai-gapai, berusaha meraih ponsel yang ada di nakas.
Cepat kusambar ponsel dan memperhatikan baterai di layar tinggal tiga puluh persen.
“Xavier kampret!” teriakku sembari menyemburkan sumpah serapah keji. “Kenapa harus meneloponku? Aku mau tidur!”
Sekalipun bilang begitu, tetap saja kuterima panggilan telepon dari Mr. Villain.
“Kamu tahu pukul berapa sekarang ini?” tanya Xavier dari ujung sambungan.
“Nggak,” jawabku, jujur. “Lagi pula, aku nggak kerja di kantor. Bebas! Suka-suka aku dong mau tidur sampai siang atau sore!”
“Sekarang pukul satu siang,” Xavier memberi penjelasan yang sebenarnya tidak kubutuhkan. “Apa kamu berencana tidur sampai sore, Kitty? Sebaiknya jangan.”
“Udah dulu, ya. Aku mau tidur.”
“Aku ada di depan pintu.”
Hah? Apa maksud Xavier dengan depan pintu? “Pintu siapa?”
Suara tawa Xavier terdengar renyah hingga nyaris membuatku limbung. “Apartemenmu.”
Kerutan di dahiku pun semakin dalam. “Jangan bercanda deh. Nggak lucu.”
“Mana mungkin aku bercanda? Kalau nggak percaya, kamu cek sendiri dengan mata kepalamu.”
Lekas aku berjibaku dengan selimut, mengabaikan kondisiku yang jauh dari kata layak; rambut berantakan, belum cuci muka dan gosok gigi, lalu masih mengenakan kaus longgar dan celana panjang berbahan lembut. Aku mengecek melalui lubang intip yang ada di pintu ... petir menyambar dan membuatku sadar.... Oke, tidak ada petir. Namun, melihat Xavier berdiri di depan pintuku ampuh melumpuhkan diriku.
“Benar, ‘kan?”
“Kok kamu tahu aku sudah ada di depan pintu?” tanyaku kebingungan karena mendengar tebakan Xavier atau apalah bisa tepat. “Aku belum ngomong.”
“Suara derap langkahmu,” jawabnya sembari memberikan senyum sempurna, “berisik.”
Cepat aku mundur dari pintu. Barangkali tidak membuka pintu merupakan pilihan baik, tapi percuma juga! Aaaah kenapa petugas keamanan membiarkan Xavier masuk?
“Tunggu lima menit,” kataku kepada Xavier. Lekas kumatikan ponsel dan meletakkannya di tempat teraman. Aku masuk ke kamar mandi. Mulai ritual penting; gosok gigi, cuci muka, menyeka wajah dengan handuk, dan mengecek apa ada belek di mata? Ternyata bersih. Aman!
Saat menghadapi Xavier, semua kekesalanku menguap. Itu karena dia membawa sesuatu....
“Kamu suka baca, ‘kan?” katanya sembari pamer cengiran lucu. “Aku bawakan buku.”
Kutunjuk kantong belanja. “Itu?”
Xavier mengangkat bahu, ringan. “Sayur, daging, susu. Aku ingin masak sesuatu untukmu.”
Aku menyingkir, mempersilakan Xavier untuk masuk.
Semua bisa dibicarakan dengan baik asal ada buku. Aku bersedia menjadi teman Xavier. Hehehehe buku dan makanan enak. Masakan Xavier membuatku bahagia. “Kamu sering masak buatku, ya?”
Itu bukan permintaan, melainkan perintah!
“Nggak masalah,” balas Xavier mengamini keinginanku. Dia langsung meluncur ke dapur, seperti kali pertama datang ke tempatku.
Aku mengecek buku apa saja yang Xavier pilih. Ada novel, komik, puisi, bahkan kumpulan cerita horor. Kutumpuk sepuluh buku yang Xavier beli di atas rak kamarku. Ketika aku keluar dari kamar, aroma masakan yang kaya rempah pun membuat perutku bergemuruh.
Kakiku secara otomatis menari lincah mengikuti godaan wangi makanan. “Kamu jago banget,” pujiku secara tulus.
Xavier telah meletakkan tumisan sayur di meja makan.
“Kamu harus sering makan masakanku.”
“Ih mirip suami rumah tangga,” godaku tampa ampun.
“Iya,” Xavier membenarkan. “Aku, kan, calon suamimu.”
“...”
Mengapa dia sangat percaya diri sekali, pemirsa? Apa tidak pernah dia mempertimbangkan kemungkinan seseorang menampik tawaran darinya? Sekali saja?
Lalu, kuamati tubuh Xavier yang tegap dan ... astaga mamamia. Melihat kedua lengan baju Xavier yang digulung, memamerkan tangan indah dan otot....
Aku tarik pendapatku! Sepertinya aku akan mengeong sepanjang hari demi merayu Xavier! Miaaaaaaaaaw!
***
Selesai ditulis pada 12 April 2024.***
Oh ya, yang kesulitan cari saya di KaryaKarsa ... begini. Tinggal ketik saja nama saya atau username saya. Sama kok dengan username di sini. Hihihihi.Terima kasih.
P.S: Love youuuuuu, teman-teman.
P.S: Jangan lupa jaga kesehatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)
FantasiAku tidak peduli dengan tokoh utama mana pun kecuali kesejahteraan milikku sendiri. Namun, susah jadinya kalau kakakku ternyata kaki tangan tokoh antagonis. Sebagai adik yang baik, rajin menabung, dan bersahaja sudah sepatutnya aku bergerak dan men...