17

2.5K 460 11
                                    

Masakan Xavier sangat enak. Sedap! Aku seperti seekor kucing yang diberi sepiring ayam goreng tanpa tulang. Sibuk mengunyah, menelan, dan mengenyangkan diri sendiri sampai puas. Sebut aku mudah kena sogok karena memang begitu, sih.

“Bagaimana?” tanya Xavier yang duduk di seberang meja. Dia bertopang dagu, menampilkan senyum menawan.

Xavier jadi makin mirip suami rumah tangga. Barangkali dia menunggu pujian dariku. Pasti, sih. Dasar.

Aku berdeham. “Hmmm enak.”

Terlalu enak!

“Kamu nggak harus memujiku.”

“Xavier, masakanmu sempurna. Aku jadi takut ingin mempekerjakan dirimu sebagai koki tanpa gaji.”

“Bisa,” sahutnya, riang. “Asal kita menikah, maka kamu bisa makan masakanku sepuasnya.”

Idih! Terlalu murah uang muka menikahnya! “Aku keberatan,” kataku, cemberut. “Minimal bangunkan aku seribu hotel dalam semalam.”

“Oh ayolah, aku cukup murah hati.” Dia mulai bersandar di punggung kursi. Gerakannya amat elegan, tidak kasar dan membuatku mempertanyakan kemampuan Xavier dalam menjatuhkan lawan dengan segala tipu daya. “Omong-omong, aku melihatmu dengan seseorang yang seharusnya nggak kamu dekati, Kitty.”

Kedua alisku pun bertaut, membuat wajahku terlihat seperti orang kebelet. “Apaan, sih?”

“Kamu pasti senang banget, ya, bisa makan malam bersama saudaraku?”

Jantungku bisa saja berhenti berdetak. Dari sekian ucapan konyol yang mungkin saja kudengar, ternyata Xavier memilih ... tunggu! Aku ingin bertanya, “Bagaimana kamu bisa tahu aku baru saja bertemu Deon?” Namun, itu mustahil. Pertama, Xavier tidak tahu bahwa aku mengenal Deon Sanders sebagai saudara beda ibu. Kedua, bila kulontarkan pertanyaan itu maka dia bisa saja menganggapku amat mencurigakan.

Oleh karena itu, sebisa mungkin kupaksa jantungku berdetak normal agar ketika bicara aku tidak terbata. Sayangnya, itu susah! Butuh usaha keras agar bibirku bersedia meletupkan setiap kata dengan normal.

“Xavier, kamu ngomong apaan, sih? Saudara apa? Kenapa kamu mulai menyebalkan?” Aku pura-pura menguap, mengucek mata, berharap lawan bicaraku lengah. “Ada banyak orang yang kutemui. Siapa yang kamu maksud? Steve?”

“Oh ya, kamu sempat pergi bersama Clover ke suatu pesta,” ia menjelaskan. Bahkan nada suara yang ia gunakan terlalu tenang, nyaris membuatku menggigil. “Deon Sanders, pria yang menemanimu makan ... haaa kamu mulai ingat, ya?”

Ini menyebalkan! Aku tidak nyaman berurusan dengan tokoh penting! “Xavier, kamu cemburu? Tolong, ya, dengarkan. Aku cuma makan sebentar dengan entah siapa namanya. Nggak ada yang khusus maupun istimewa. Lagi pula, kamu hebat banget. Bagaimana caramu tahu semua kegiatanku?”

“Aku punya sumber informasiku sendiri.”

Mau tidak mau aku pun mendengkus. Kesal bukan main.

“Ha sekarang kamu menyesal menawariku pernikahan?” godaku tanpa bisa kutahan. “Setelah tahu bahwa aku sempat makan malam dadakan tanpa sengaja bersama pria lain, nih?”

‘Ayo cepat bilang cemburu maka akan kuampuni dosamu!’ teriakku dalam hati.

Tidak ada aura kemarahan maupun ancaman yang menguar dari Xavier. Hanya seulas senyum ... senyuman yang selalu ia tampilkan di hadapanku. “Aku nggak akan menyesal,” katanya, mantap. “Kitty, sampai kapan pun aku nggak akan merasa menyesal telah menawarimu pernikahan. Terus terang aku cukup geregetan kamu nggak segera menerimanya.”

Cara merayu yang tidak keren! Ke mana perginya pesona tokoh fiktif yang kubutuhkan? “Hoooo kamu cukup sabar, ya?”

“Nggak juga.”

Setelahnya aku bangkit, merapikan meja, dan mulai cuci piring. Xavier ikut membantu dan berbicara mengenai pekerjaan yang tidak kupahami.

“Siapa dia?” tanyaku membuka pembicaraan. Kuletakkan piring yang belum dikeringkan ke rak khusus. “Saudaramu dari mana?”

“Cuma anak kecil yang menyebalkan, Kitty. Kamu nggak perlu tahu.”

Dalam novel Xavier menghabiskan seluruh hidupnya demi menghancurkan Deon. Kebencian yang terakumulasi tidak bisa terbendung. Luapan amarah menyerbu dan menenggelamkan Xavier ke dalam penderitaan.

Aku menghela napas dan mengembuskannya secara perlahan.

“Xavier,” panggilku, lembut. Kuletakkan kedua tanganku di pipi Xavier, memaksanya melihatku. Hanya diriku. (Yang lain tolong minggir!) “Aku nggak tahu mengenai masa lalu maupun kehidupanmu. Tapi, tolong pertimbangkan melakukan hal-hal yang menyenangkan.”

Ada banyak kegiatan bagus yang mendebarkan daripada memikirkan cara balas dendam. Aku gagal menjauhkan Clover dari Xavier. Mereka makin lengket seperti permen karet yang ditempelkan bocah nakal ke rambut anak cewek. Sekarang aku hanya ingin berusaha menyeret Xavier ke sisi lain.

Andai berhasil....

“Kalau kamu serius ingin menjadikanku bagian dari hidupmu,” ucapku, lembut. Kusunggingkan senyum hangat yang semoga saja mampu melelehkan gunung kebencian dalam hati Xavier. “Tolong lupakan hal buruk sekalipun sulit bagimu. Buat hal-hal menyenangkan. Aku nggak sanggup terjun ke kolam kebencian. Tapi, aku nggak keberatan memulai hal baru bersamamu. Tentu saja hal baru itu haruslah yang memberi dampak positif bagi kita berdua.”

Selama sekian detik Xavier tidak menjawab. Dia diam, memperhatikanku. Kupikir dia mirip danau beku di musim dingin. Permukaan danau tampak gelap dan sinar matahari sulit menembus setiap lapisan di atasnya.

Akan tetapi, perlahan sesuatu mulai berubah. Bisa kulihat di kedua mata Xavier. Cahaya barangkali berhasil menyentuh permukaan es, meretakkan lapisan kebencian, dan menyebarkan kehangatan dalam kegelapan pekam di diri Xavier.

Xavier meraih satu tanganku, menggenggamnya seolah takut aku akan kabur. “Ternyata syaratmu cukup mudah,” katanya sembari tersenyum. “Jadi, kamu ingin aku hanya fokus pada hal baik?”

Aku mengangguk. “Jangan terjerat masa lalu menyebalkan,” kataku memperingatkan. “Kita bisa mulai dengan jalan-jalan berdua. Semisal kamu mampu memenuhi keinginan sederhanaku ini....”

“Jangan menyesal,” potongnya dengan nada jenaka.

Dia meremehkanku! “Justru aku ingin kamu yang jangan menyesal,” godaku. “Kita bisa jadi pasangan hebat. Pebisnis dan penulis sinting. Keren, ‘kan?”

Lantas kami berdua pun tertawa.

Tidak ada salahnya kucoba memulai hubungan dengan Xavier. Entah akan berlangsung sampai jenjang romantis, atau karam ... setidaknya aku mencoba. Xavier bukan cowok SMA menyebalkan yang membuatku jadi bulan-bulanan anak sekelas.

Aku ingin mencoba memiliki hubungan romantis dengan orang yang jago masak. Hehehe akan kujerat Xavier dalam perbudakan! Hahaha dia harus menjadi koki milikku. Koki gratis! Tidak perlu gaji.

Huhu senangnya.

***

Editorku mulai gila, deh. Beberapa kali dia mengirim pesan yang isinya membuatku mempertanyakan kemanusiaan seseorang.

[Jupiternya nggak bisa dibikin makin sengsara, ya?]

[Oke, aku setuju Jupiter kena racun dan bermutasi jadi manusia setengah monster. Tapi, tolong pastikan semua karakter selamat kecuali dia.]

[Kenapa Jupiter masih dibikin hidup? Bukankah biasanya kamu mengakhiri semua karakter penting? Kenapa?!]

[Semanggi, bayar uang ganti rugi! Kepalaku sakit!]

[Aku lembur! Apa kamu nggak kasihan dengan editormu ini?]

[Makasih, Semanggi. Begitu dong. Jupiter memang harusnya tewas di tangan tokoh utama. Dengan begini dunia jadi aman. Oh ya, novel terbarumu akan menjadi tanggung jawabku lagi. Tolong bilang ke pak bos agar menambah gajiku. Aku nggak mau calon suamiku merana.]

Aku bahkan tidak mau tahu calon suami editorku!

***
Selesai ditulis pada 13 April 2024.

***
Saya beneran nggak nyaman dengan anak-anak yang main petasan! Kucing saya ketakutan ini!

P.S: Hati-hati kalau ada anak-anak yang main petasan. Menyingkir dan lari sejauh mungkin!

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang