13

2.6K 466 7
                                    

“Ada hubungan apa kamu dengan Clover?”

Ha he ho hah?! Orang yang ingin utang pun punya etika dalam membuat retorika cantik. Namun, dua cewek seksi-parlente-bombastis ini sama sekali tidak mau repot dengan basa-basi. Apa mereka tidak bisa melihat bahwa:

1. Aku membawa piring berisi kue.

2. Aku ingin makan.

3. Aku tersinggung.

Andai aku seekor kobra, sudah kuludahkan racun kepada musuh. Biar mundur, ngacir, dan kabur. Namun, aku seorang manusia. Menyemburkan air liur sembarangan tidak akan membuatku jadi kaya raya.

“Sering banget,” kata salah satu cewek sembari melipat kedua tangan, gaya menantang, “aku lihat kamu bersama dia di beberapa pesta.”

Kuputar bola mata. (Tentu saja memutar, kalau rotasi mata agaknya membingungkanku. Merotasi mata. Hmm rotasi bumi? Eh, aku mikir apaan, sih?)

“Jujur saja, deh. Dibayar berapa?” yang lain menimpali. Gaya si cewek satu ini bukan main. Dada membusung, mata berkilat licik, dan bibir menyunggingkan seringai sadis. Dia pikir aku akan gentar? Huh dia memang benar! Aku ingin mundur teratur ke pojokkan. Cari posisi enak. Makan! Jadi, akan kubiarkan diriku mundur.

Kuletakkan pencapit, alat yang kugunakan untuk mengambil kue, ke meja. Di piring hanya ada beberapa kue dan garpu. Bagus! Ada garpu yang bisa kupakai sebagai senjata legendaris pengusir kaum bebal.

“Gini, ya,” ucapku dengan intonasi sok keren (padahal jatuhnya cupu). Lalu, kugenggam garpu erat-erat. Tidak lupa kupamerkan senyum antagonis setan! (Ada gunanya nonton film horor.) “Apa pun hubunganku dengan Clover, kalian nggak perlu ribut. Memangnya kenapa kalau aku calon istrinya? Nggak terima? Mau ngajak duel? Ayuuuuuk, sekalian kita baku hantam bersama.”

Lupakan opsi damai. Main hakim sendiri lebih menarik daripada mengikuti ajaran Mama mencari jalan tengah. Persetan jalan tengah, mauku kekerasan!

“Sombong,” kata cewek yang senang memamerkan belahan dadanya, “kamu pikir bisa sesumbar sesuka hati?”

“Iya,” sahut rekan seperjuangan yang sudah tidak berpose lipat tangan depan dada, “kami bukan dari golongan biasa.”

“Kenapa?” tantangku sembari mengacungkan garpu. “Aku juga bukan orang biasa. Asal tahu saja, ya? Dengar! Bila kalian berani menggangguku, maka Sandra Harville nggak akan tinggal diam. Beliau akan menguliti kalian hidup-hidup, kemudian dilempar ke laut. Mau?”

Alih-alih menyebutkan nama orangtuaku, kupakai saja Sandra Harville, mama Xavier. Kan jarang bisa kumanfaatkan tokoh penting. Apa gunanya kenal Mr. Villain kalau tidak digunakan di saat tepat seperti SEKARANG? Hahaha cerdas.

Kedua cewek menyebalkan itu saling lirik. Pasti mereka lempar kode melalui lirikan matamu yang tidak menjerat hati. Biasalah transfer data antara manusia mengesalkan ke manusia kurang kerjaan.

Sedetik, dua detik, tiga detik sampai kuhitung ke tiga puluh detik akhirnya mereka berhenti saling lempar pandang. Si pamer belahan dada berkata, “Memangnya kamu siapa? Mana mungkin Sandra Harville, ratu bisnis sejati, punya kenalan sekerdil dirimu?”

“Heh nggak usah ganjen,” tambah si rekan. “Kami tanya baik-baik. Apa hubunganmu dengan Clover. Cuma itu. Kenapa kamu harus mempersulit keadaan?”

Aku pura-pura menguap, sengaja kupamerkan rongga mulut secara lebar. “Masalahnya kalian nggak kelihatan ingin diskusi. Mana ada orang nanya, tapi sorot matanya kurang ajar. Halo, aku tahu dadaku bagus. Nggak usah melotot gitu.”

“Kamu nggak sopan!” jerit si rekan yang kuanggap sebagai tokoh penggembira.

“Sama,” sahutku, keras kepala, “kamu juga nggak sopan. Orang mau makan dengan damai. Iya, aku! Aku ingin makan dulu, jadi nggak usah diajak ngobrol nggak penting.”

Si pamer belahan dada berusaha menyambar lenganku, tapi aku dengan sigap mengelak. Mau tidak mau si cewek tukang pamer belahan dada pun menubruk meja. Terdengar suara ricuh, berisik sekali. Beberapa orang yang tadinya sibuk dengan kegiatan masing-masing pun mengalihkan pandang kepada si cewek tukang pamer belahan dada.

“Kamuuuu,” geram si cewek dengan bengis.

Rekan si cewek pun bergegas mendekat, menolong memperbaiki keadaan. “Hati-hati.”

Alih-alih mendengarkan nasihat teman, cewek itu telanjur menganggapku sebagai musuh. Dia menegakkan tubuh, mengabaikan krim kue yang menempel di gaunnya, dan berderap ke arahku.

Oke, siaaap. Akan kuhadapi dengan gagah bera-eh?

“Berhenti.”

Sesosok pria mendadak muncul di hadapanku. Dia menjadi benteng penghalang antara aku dan si cewek tukang ngamuk. Aku tidak bisa memperhatikan wajah si pria karena dia memunggungiku.

“Ka-kamu ... oh.”

Nah sekarang cewek itu dan rekannya mendadak bungkam. Barangkali kesulitan bicara atau rohnya terpencar persis bola arwah yang kena panah Kagome. Hahaha mampus! Muncul bos besar! Entah siapa dia, si pria keren ini, pokoknya aku senang!

“Nggak pantas berantem di hadapan umum,” kata pria itu, dalam. “Kalian hanya akan berakhir sebagai tontonan.”

Aku mencoba mengintip, memperhatikan dua musuhku yang wajahnya pucat sekali. Hehehe saatnya kujulurkan lidah alias, kapan lagi bisa kupermainkan mereka? Buwahahahaha senang bisa membuat musuhku meradang.

Tepat sasaran! Strike! Dua musuhku menatapku dengan sorot mata semerah darah. Persis vampir kurang asupan energi!

“Awas kamu!”

Hanya dua kata itu saja yang bisa musuhku ucapkan kepadaku. Mereka langsung menyingkir, kabur sejauh mungkin seolah hendak menghindari banjir besar. Aku ingin tertawa sepuas hati melihat tingkah konyol mereka.

“Ha hahahahahaha!”

Maaf, aku tertawa. Lagi pula, tertawa merupakan salah satu metode memperpanjang umur. Apalagi tertawa di atas penderitaan orang lain hahahahahaha!

“Kamu sengaja menggoda mereka.”

Tawaku langsung padam manakala berhadapan dengan seraut wajah rupawan. Benar-benar indah. Dia mengingatkanku kepada Xavier versi dewasa. Keduanya, pria ini dan Xavier, membuatku merasa terancam dan waswas.

“Mau kue?” aku menawarkan sepiring kue.

Ujung bibir pria itu melengkung. “Kue?”

“Soalnya maaf saja,” kataku berterus terang, “aku nggak akan menyesal. Mereka ngeselin. Tanpa babibu langung menerjangku, menandaiku sebagai sesuatu yang menjijikan.”

“Mereka bahkan nggak mengataimu.”

Aku mengangguk. “Tapi, bahasa tubuh mereka nggak bisa bohong. Sedari awal mereka mengincarku. Makanya, sekalian saja kukipasi. Oh, lupa. Terima kasih. Kamu berhasil menghindarkan mereka dari kemungkinan celaka kena tusuk.”

Dia terkekeh. Cahaya di matanya membuatku makin teringat dengan Xavier. (Duh kenapa Xavier muncul terus, sih?) Sangat aneh. “Kamu akan berakhir di penjara andai nekat berbuat bodoh.”

“Tenang saja, aku punya banyak cara menggagalkan rencana keji seseorang.” Pengalaman dengan Xavier. Dulu ampuh, sekarang karatan. Aku tidak berkutik bila dihadapkan dengan Xavier. (Aduh! Lagi-lagi aku teringat Xavier. Dia menghantuiku!)

Kuletakkan piring beseta garpu di meja terdekat. Tas mungil pun berpindah posisi ke tangan kiri. Kini aku berani menawarkan tangan kanan (tangan kiri nggak sopan, ya) kepada penolongku.

“Kitty Morri,” ucapku memperkenalkan diri dengan senyum lebar cemerlang berkilau indah menyinari dunia.

Sebuah tangan menyambutku, menggenggam jemariku, erat. Senyum terbit di wajah pria itu. Semakin memperindah wajahnya yang tampan. “Deon,” katanya.

Hah? Tunggu! Deon? Tolong jangan, tolong jangan, toloooong!

“Deon Sanders.”

Terdengar suara petir menyambar dalam benak. Hancur sudah kepercayaan diri. Duniaku tersapu badai. Aku dalam bahaya! Bahaya! Gawat darurat! Mamaaaaaaaaaaaaaaaa!

***
Selesai ditulis pada 9 April 2024.

***
Kitty: “Ma, tolong jemput. Aku takuuuuut!”

***
Dan begitulah. Buwahahahahahahahahahaha!

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang