2

3.7K 630 34
                                    

“Xavier! Xavi Sayaaaang, lihat siapa yang datang!”

Mama Mr. Villain berteriak dengan suara lantang. Mungkin dia pikir anaknya tengah bersembunyi seperti seekor kera, terpuruk, terpenjara dalam gua di gunung tinggi sunyi tempat hukuman para dewa. Tidak masalah asal aku tidak sedang dalam gendongannya! Telingaku berdenging, ngilu, sakit bukan main.

Kulirik Mama yang ternyata berubah jadi pengikut! Dia sama sekali tidak keberatan diajak masuk menuju ruang tamu. Lagak Mama seolah mendapat kehormatan tinggi sebagai selir.

“Maaaaa!” rengekku berusaha menjulurkan tangan. Ini artinya aku butuh pertolongan. Tolong! Tolong! Tolong aku!

“Kitty Manis, Tante nggak gigit kok,” ujarnya dengan suara manis. Tidak lupa wanita, eh kupanggil saja dia sebagai Tante, mencuri ciuman di pipiku. “Kamu manis banget. Jadi, pengin nyulik-eh?”

Mamaku harus tahu itu! “Maaaaa!”

“Kitty, jangan nakal.”

Mamaku telah jatuh ke perangkap Tante! Dia bahkan lupa kalau aku putri kesayangan Papa! Nanti kalau aku tidak pulang, Papa pasti ngambek dan mengamuk!

Tante mempersilakan Mama duduk manis, sementara dia membawaku kabur naik ke lantai atas. Dia bahkan tidak perlu izin dari Mama. Hiks cinta Mama ternyata sebatas ini.

“Xavier, Mama panggil dari tadi nggak dijawab! Kamu ngapain, sih?” cerocos Tante yang langsung masuk tanpa permisi ke kamar yang kuduga milik Xavier.

Kamar Xavier tidak seperti kamar milik Clover. Di sana rapi. Tidak ada tempelan poster superhero. Hanya ada rak berisi buku, lemari baju, meja belajar lengkap dengan komputer, bahkan ranjangnya pun biasa saja.

“Lihat, Sayang,” kata Tante seraya mencium pipiku untuk kesekian kalinya. “Ada balita imut.”

Oknum yang bersangkutan, Xavier, sedang duduk di kursi. Sepertinya dia tengah membaca sesuatu. Aku tidak tahu jenis bacaannya kecuali selintas kulihat kover buku tersebut bergambar ... apa itu DNA? Tunggu! Bukankah dia seharusnya baru berusia delapan tahun? Sama seperti abangku!

“Ma, jangan culik anak orang,” kata Xavier dengan nada suara yang terlalu santai.

“Umuuuuh,” gumamku mengagumi Xavier.

Wajah Xavier bisa dibilang sangat mewakili perumpaan malaikat jatuh; memesona, penuh kewibawaan, dan membuat orang tidak bisa berpaling darinya. Masih kecil saja sudah punya aura semacam ini, apalagi nanti ketika dia dewasa? Pantas saja di salah satu episode ada cerita mengenai kekasih seorang artis yang memilih mengejar Xavier daripada pacarnya yang juga sama-sama berprofesi sebagai artis.

Mr. Villain muda ini mengenakan kaus lengan pendek dan celana panjang berwarna krem. Cocok menjadi model pakaian anak muda. Pasti laris manis!

“Kamu ini,” omel Tante dengan nada gemas, “ayo cepat turun dan temui tetangga kita. Dia berbaik hati mengirim kue dan putrinya-eh maksud Mama, bertamu. Kitty, sapa calon suami-uhuk, Kak Xavier. Ayo bilang Kakak.”

Dahiku berkerut. Lenyap sudah keterpesonaan. Mendadak hidungku mencium aroma sangit. Sekalipun aku balita yang seringnya kalah saing dari balita lain soal lomba lari, tetapi insting detektif gadunganku tidak mungkin meleset! Ada udang di balik batu!

“Mama!” panggilku pura-pura tidak paham dengan keinginan Tante. Silakan saja dia bermimpi dan akan kugembos semua balon imajinasi miliknya!

“Ih kok Mama?” protes Tante tidak terima. Dia mulai membawaku mendekati Xavier dan tanpa permisi langsung mendudukkanku di pangkuan Xavier! Ironis, ironis, sangat ironis karena dia pun menyuruh Xavier melingkarkan tangannya di sekitarku agar aku tidak gedubrak jatuh. “Panggil Kak Xavi. Xaviiiii, ya?”

Mimpi! “Mama?” Aku menelengkan kepala, pura-pura tengah mengamati jin nyamuk hinggap di pipi Tante. “Mama!”

Tante menggigit bibirnya yang terpulas gincu merah. Tampaknya dia gemas sekali ingin mencuci otakku. “Xavi, tolong gendong Kitty. Kamu ikut Mama turun dan temui tetangga kita. Oke?”

“Ma....”

Belum sempat Xavier menyelesaikan ucapannya, Tante telanjur kabur dengan kecepatan mengagumkan, meninggalkan kami berdua saja.

“...” Dasar Master Tipu Daya! Beraninya meninggalkanku bersama calon biang masalah!

Xavier mengembuskan napas. Jelas dia tidak setuju dengan ide Tante, tapi tidak punya kuasa menolak. Berhubung tubuhku masuk golongan mungil dan ringan, dia tidak kesulitan menggendongku. Wow bisa kukira cuma Clover saja yang punya tubuh bagus; tinggi, tegap, dan gagah untuk ukuran bocah; ternyata Xavier juga sama saja.

Ehem bukan bermaksud cari kesempatan, yaaaaa. Aku cuma takut jatuh, membentur lantai, dan nanti wajahku makin jelek. Karena itu, kulingkarkan kedua tangan di leher Xavier dan mulai berdoa semoga Papa membalaskan penghinaan yang kuterima ini!

“Kamu umur berapa, sih? Kok kecil banget?”

“Empat!” teriakku, sakit hati mendengar komentar Xavier mengenai tubuhku!

Di masa depan nanti pasti aku jadi cewek cantik jelita tiada tara soalnya Mama cantik dan Papa ganteng. Itu artinya aku punya gen bagus ... kecuali tinggi. Eh dada Mama bagus kok. Boing boing boing jadi aku tidak perlu cemas nanti dapat dada datar. Tidak mungkin buwahahahahahahaha!

“Nggak usah teriak dong,” Xavier mengeluh.

Sini kuajari neraka dunia! “Xavi jelek! Jelek! Lalalala jelek! Papa ganteng! Papa keren! Kakakku jauh lebih cakep daripada Xavi! Ye ye ye la lalalalala!” dendangku dengan celoteh balita menggemaskan.

“Dasar bocah,” sindir Xavier sembari terkekeh.

“Kamu, kan, juga bocah!” balasku, sengit. “Sesama anak kecil nggak boleh saling hina!”

Sekalipun Xavier menyebalkan, tapi dia tetap menggendongku dengan baik dan benar. Aku bahkan tidak sadar bahwa kami sudah sampai di ruang tamu. Mama dan Tante mulai bertukar informasi as know as gosip.

“Kyaaa lucunya!” Tante memekik riang. Dia menutup mulut dengan kedua tangan. “Harus kufoto! Harus!”

Mama pun ikut serta dalam kegiatan mengabadikan kami berdua dalam ponsel.

Aku ingin pulang.

***

“Papa, Mama nakal! Nakaaaaal!”

Sampai di rumah aku pun langsung mengadu kepada Papa. Lupakan mengenai berbakti kepada orangtua. Aku merasa dimanfaatkan oleh Mama dan Tante! Lihat saja pipiku ada bekas lipstik! Banyak cap bibir!

“Kitty, kamu boleh protes,” Papa meraup dan memelukku. Dia tertawa ketika melihat wajahku yang belepotan cap bibir merah delima. “Bisa-bisanya Mama menumbalkan Kitty, ya?”

“Mama nakal!” teriakku sembari membenamkan wajah ke dada Papa. Sekalian saja kupakai baju Papa untuk menyeka cap bibir ini. “Nakal!”

Bukannya merasa bersalah, Mama justru langsung melenggang ke dapur. Dia bahkan sibuk bersenandung, melagukan nyanyian kesukaannya, dan sama sekali tidak peduli dengan ratapanku.

Aku nangis, nih. Nangis.

“Kenapa nggak ngajak Clover sekalian?” Papa mencari tisu yang ada di meja makan. Dia berusaha membersihkan pipiku, tapi justru semakin melebarkan warna merah. Apa dia bermaksud menjadikanku the next Joker?

“Ke rumah tetangga?” teriak Mama dari dapur.

“Bukan, ke reuni nanti,” balas Papa yang menyerah membersihkan wajahku. “Aku takut nanti Kitty jadi bulan-bulanan.”

Sekarang saja aku sudah jadi kambing congek!

Semua gara-gara Mama!

Pokoknya salah Mamaaaaaa!

***
Selesai ditulis pada 28 Maret 2024.

***
Syalalaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa! Huhuhuhuhu!

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang