12

3.2K 513 5
                                    

Masakan buatan Xavier rasanya enak. Sempurna. Tidak ada kurang satu pun baik dalam segi rasa, tampilan, bahkan ukuran memotong sayuran maupun daging. Aku habis sekian piring karena terlalu lahap (atau, jangan-jangan kelaparan akibat terlalu lama berjauhan dengan masakan rumah). Entah harus menangis atau tertawa, aku merasa kalah telak di hadapan Xavier.

Bodohnya diriku ini. Bagaimana bisa menerima kehadiran Xavier dengan mudah? Maksudku, mengapa kubiarkan dia mengetahui alamat apartemenku? Aku sengaja pisah demi menjauhkan diri dari Xavier dan Tante Sandra. Iya, agar terhindar dari arus cerita. Namun, dasar menyedihkan justru aku sendiri yang secara sukarela menghancurkan rencana penyelamatan diri.

Xavier pasti pulang dengan perasaan puas. Seakan dia memegang piala kemenangan dan ... astaga, sepanjang berada di dekatku senyum mematikan selalu terlukis indah di wajah dan membuatku mempertanyakan kesehatan jiwa ... eh, semoga dia tidak ketempelan makhluk halus. Pasti tidak lucu mendengar kabar kesurupan. Tidak lucu!

Lalu, begitu malam menjelang aku pun melaksanakan proyek balas dendam. Bukan kepada Xavier karena aku masih sayang nyawa, melainkan Clover.

Aku merebahkan diri di ranjang, menghadap langit-langit, dan ponsel menempel di telinga. Dengan kata lain, siap menunggu sambungan telepon. Pada dering kedua, suara Clover terdengar.

“Kata Mama Xavier mengantarmu pulang, ya?”

Suara Clover sangat bagus untuk dijadikan sebagai penyanyi lagu-lagu patah hati. Kujamin semua cewek pasti menggelepar, tersengat cinta. Namun, aku menelepon Clover bukan untuk memuji dirinya! Sama sekali tidak!

“Kenapa kamu bocorkan identitasku sebagai penulis?” kejarku tanpa ampun. “Kakak, kenapa?”

“Hmmm.”

“Jangan hmmm doang!” jeritku, frustasi. “Mama dan Papa saja nggak Kakak kasih tahu, lantas kenapa Xavier perlu tahu?”

“Marah-marah nggak akan menyelesaikan permasalahan.”

Naga bumi, naga langit, naga air.... Kusembur juga kakakku!

“Aku nggak marah,” kataku berusaha menenangkan diri dengan cara membayangkan beruang madu lucu. Oke, gagal!

“Nggak bisa kujelaskan,” itulah yang dia akui.

“Kak, kamu diancam?”

“Enggak.”

“Apa kamu punya pacar cowok?”

“Kitty, jangan ngomong sembarangan.”

“Lantas kenapa?!”

“Coba kamu tanya sendiri dengan yang bersangkutan.”

Itulah jawaban yang kuterima. Tanya sendiri. Hah tanya kepada Xavier. Lebih baik menyuruhku bertanya kepada rumput yang bergoyang, pasir berdesir, atau katak di pinggir jalan daripada menemui Xavier. Aku tidak siap! Sampai kapan pun tidak mampu bertatap muka dengan Xavier tanpa merasa jantung akan terjun bebas. Sulit!

Ponselku kembali berdering. Panggilan dari Clover. Kupikir dia akhirnya bersedia buka suara, tapi yang ia katakan justru semakin membuatku ingin mengamuk.

“Besok malam tolong temani aku ke pesta.”

Sudah kuduga gunaku bagi Clover sebatas untuk pameran! Dia sering mengajakku ke pesta inilah, itulah, beginilah yang ujung-ujungnya kugunakan sebagai ajang cari makan. Mau bagaimana lagi? Aku tidak tertarik membuka pembicaraan dengan siapa pun. Tepatnya, kemampuan bersosial melalui percakapan nol besar.

Hahahaha!

***

Clover mengirim gaun beserta aksesoris pelengkap. Selama bukan sepatu berhak tinggi, akan kuterima dengan senang hati. Tidak lucu kalau memaksa diri sendiri pakai sepatu dengan hak tinggi dan membuat kaki keseleo. Seram! 

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang