10

3.1K 556 13
                                    

Pada awalnya aku mulai menulis di web. Tentu saja menggunakan nama pena, Semanggi. Dari sana jumlah pembaca makin bertambah, melejit, seolah ada peri yang menaburkan bubuk sihir pada mata siapa pun yang kebetulan membaca tulisanku.

SMA, remaja bau kencur. Enam belas tahun. Itulah pertama kali aku merintis karya yang sebetulnya hanya bercerita mengenai hal-hal yang kuminati saja. Tidak ada alasan khusus selain terlalu bosan dan tidak ada kegiatan menarik selain menumpahkan ide tidak jelas ke dalam cerita.

Clover, abang yang selalu mengikuti perkembangan kegiatan tidak jelasku, mencetuskan ide agar mencetak tulisanku ke dalam buku. Kupikir itu terlalu berlebihan karena aku tidak yakin ada orang yang tertarik beli. Lagi pula, kisahnya pun bukan percintaan sehat ataupun dengan akhir bahagia. Namun, Clover punya cara dan pendapat tersendiri.

“Terserah, asal identitasku disembunyikan dan tidak perlu diumbar ke masyarakat.” Itulah syarat yang kuajukan sebelum tulisanku berubah wujud dari digital ke cetak.

Sekalipun Clover terlihat (di mataku) terlihat iseng belaka, tapi ternyata keseriusan yang tidak kupahami membuatku terkejut. Clover berhasil menemukan agen, atau istilahnya tangan kanan, untukku. Agenlah yang akan menjadi perwakilanku berembuk, temu dengan penerbit, dan diskusi. Aku tidak perlu muncul dan kalaupun bersedia melakukan komunikasi cukup melalui pesan singkat di email. Beres.

Hei, hei, hei aku tidak ingin muncul ke permukaan. Demi apa pun meski sejumlah pembaca tidak keberatan melihat tampangku yang jauh dari standar anggun menawan. Masalahnya yaaaaaa, aku takut dibakar hidup-hidup. Apalagi karakter yang mengalami nasib tragis ternyata karakter kesayangan pembaca. Makasih deh, berkat itulah alasan menyembunyikan identitas sangat perlu.

Sayangnya aku tidak mengira Clover, dari sekian orang, paling ember! Walau tidak membocorkan jati diriku di hadapan klien maupun pembaca, tapi dia terlalu bocor kepada Xavier! Bisa-bisanya dia mengumbar aktivitasku, kegiatanku, pekerjaanku, dan rahasiaku kepada MR. Villain!

“A-apaan, sih?” Aku tidak berani melihat Xavier. Kuputuskan memperhatikan meja, dinding, apa pun yang tidak memiliki mata dan tidak bernyawa agar selamat. “Asal deh. Mana mungkin? Bohong. Bohong.”

“Oh, ya? Kenapa kamu sungkan begitu?” Xavier mengempaskan diri ke kursi, tepat di seberangku. Jarak yang aman. Setidaknya aku bisa bernapas dengan lega tanpa perlu memikirkan mengenai kehancuran. “Terus terang aku menyukai caramu menghancurkan seseorang.”

Terus dia ingin menggunakan metode balas dendam dalam novel ke dunia nyata? Begitu?

“Ha ha kamu aneh,” kilahku berusaha merancang jalan melarikan diri. “Mana mungkin, sih? Aku bukan Semanggi. Kamu salah orang.”

Satu alis Xavier terangkat. Dia pasti ingin menyeringai, andai diperbolehkan, dan menertawakan kebohonganku. “Ayolah, kamu nggak perlu malu. Anggap saja kamu bertemu dengan salah satu penggemarmu.”

Mana ada? Mereka pasti ingin mencincangku karena membunuh karakter terganteng, termanis, terpopuler, atau yang paling menarik menurut mereka.

Sekali lagi aku menggaruk pelipis yang sebenarnya tidak gatal. “Kak Clover sedang belajar melawak, makanya dia ngarang....”

“Kitty,” Xavier memotong ocehanku, “aku sudah tahu semuanya. Nama agenmu, penanggung jawab yang dipilih Clover mengurus naskahmu, dan kamu nggak perlu menyangkal.”

Mati kutu. Ingin kucekik Clover! Beraninya dia menjual diriku! Memangnya apa yang Xavier tawarkan hingga dia jadi gampangan? Murah!

“Kenapa?” aku menantang, tidak lagi merasa sungkan. “Berniat menyumbangkan nama? Mohon maaf, ya. Kebetulan keahlianku menulis cerita tragedi. Nggak ada percintaan selain yang akhirnya tidak bersama.”

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang