24

2.2K 366 11
                                    

Beberapa minggu diriku disibukkan dengan pengerjaan naskah. Iya, naskah impian editorku, Irene. Hanya saja cerita itu tidak akan kuakhiri dengan kebahagiaan melimpah. Lagi pula, dunia tidak selalu memberi seseorang kebahagiaan. Adapula kepahitan, kegetiran, keputusasaan, dan kekecewaan. Itu semua unsur-unsur negatif yang tidak diinginkan oleh siapa pun, tapi perlu kutuangkan agar diriku selalu waspada. Entah di kehidupan ini maupun sebelumnya, aku tidak mau terbuai janji manis dan makan hati.

Respons Irene tentu saja tidak baik. Dia mengancam akan menyuruh kekasihnya bila aku berani kurang ajar dengan karakter utama.

[Apa kamu nggak kasihan dengan anak-anakmu? Bagaimanapun juga semua karakter yang terlahir dari tanganmu pastilah punya pengharapan. Jadi, kamu nggak boleh asal tebas!]

Seolah bisa menyurutkan niatku saja. Email Irene tidak mempan. Butuh selusin keajaiban dan seratus raja agar naskahku berganti wujud sesuai keinginan Irene. Dia boleh berusaha, sementara aku tetap pada pendirianku.

Mungkin Irene menyadari keteguhanku dalam berkarya. Dia menyerah memengaruhi jalan ceritaku. Adapun yang dia lakukan, ialah memastikan tokoh utama, yang namanya sama dengan miliknya, tetap terlihat cantik menawan.

[Ingat, ya. Aku mau karakter utama jangan yang buluk. Pastikan dia punya kepribadian bagus. Sekalipun kamu berniat mematikan semua tokoh keren, pastikan Irene tetap jaya sampai akhir hayat.]

Semoga saja pria mana pun yang berakhir dengan Irene bisa menyeret wanita itu ke jalan benar. Sekarang saja jalannya miring, nyaris menabrak tembok. Pasti tidak baik membiarkan orang seperti itu berkeliaran bebas tanpa pawang.

Lalu, pada suatu siang ... tepatnya, sewaktu hujan turun deras dan membuatku mengantuk hebat! Sangat mengantuk. Xavier datang. Dia menawariku menu makanan nikmat berupa sup hangat. Aku tidak keberatan mengenai apa pun yang ia olah di dapurku. Terus terang pojok yang satu itu resmi jadi milik Xavier.

Setelah makan nikmat, kami duduk di sofa. Merapat, terjaga dalam selimut hangat. Aku mencium aroma musk yang menguar dari Xavier. Tidak menyengat, tapi cukup membuatku selalu ingin menempel erat kepadanya. Persis iklan parfum yang dibintangi cewek seksi dalam balutan gaun ketat.

“Xavier, ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Tangan Xavier melingkar di sekitar pinggangku. Tenang saja, tangan Xavier bukan jenis tangan yang suka jalan-jalan ke mana pun dan menyentuh apa pun sekehendak hati. Dia, sejauh ini, tidak memperlihatkan tanda-tanda lelaki ganjen-mesum-tidak-tahu-diri.

“Hmmm,” gumamnya, membiarkanku melanjutkan pembicaraan.

Aku memandang tumpukan buku di meja. Akhir-akhir ini tidak ada semangat merapikan apa pun. Semua buku setelah selesai dibaca langsung kugeletakkan di mana pun, sesuka hati, pokoknya masa bodoh. “Mengenai keluargamu.”

Kutunggu sampai ada tanda dari Xavier. Isyarat bahwa dia tidak keberatan dengan topik pembicaraan yang akan kuajukan.

“Keluarga lamaku, ya?”

Aku mengangguk, membenarkan tebakan Xavier. “Kamu paham, ‘kan? Saat aku memutuskan menjalin hubungan, maka itu artinya segala hal yang berkaitan denganmu akan kuterima. Namun, ada satu masalah. Aku nggak ingin kamu terlibat apa pun, pokoknya apa pun, yang berkaitan dengan dendam.”

Selama ini Xavier sepertinya jarang membahas mengenai Tante Sandra, terutama pernikahan gagal, perceraian, segala tetek bengek terkait masa lalu. Sekalipun tidak ingin, aku harus berusaha menyeret keluar Xavier dari kubangan dendam. Dulu aku gagal menjauhkan Clover dari Xavier. Ujung-ujungnya kakakku justru jadi anak buah Mr. Villain.

Ha ha sekarang pun aku tidak yakin sanggup mengubah sesuatu. Namun, setidaknya aku berusaha. Itu tetap ada artinya daripada tidak melakukan apa pun. Berdiam diri tidak akan mengubah masa depan.

“Kenapa, Kitty?”

Aku menelan ludah, mencoba melegakan kerongkongan yang terasa kering dan sakit. Barangkali karena udara dingin dari mesin pendingin atau cuaca yang akhir-akhir ini tidak menentu. “Jangan ikuti amarahmu.”

Hening sejenak. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Xavier. Aku hampir saja cemas, takut telah menyinggung maupun mengusik hal yang seharusnya tidak kusentuh. Namun, ucapan Xavier justru mematahkan kekhwatiranku.

“Tentu saja,” ucapnya, lembut. “Aku nggak akan membiarkan kehidupanku dihantui masa lalu.”

Kerebahkan kepala di dada Xavier, berusaha mendengar suara detak jantung miliknya.

“Kamu terlalu berharga sekadar dicampakkan demi memenuhi ambisiku perihal Papa,” tuturnya dengan nada suara hangat. “Aku nggak mau mengorbankan apa pun darimu. Masa sekarang. Masa depan. Aku nggak pengin jadi pecundang yang hanya tahu hal-hal menyedihkan. Cukup Mama saja dan aku yang jadi korban Papa. Kini aku punya segala yang bisa membuatku senang, termasuk kehadiranmu.”

Aku mendengkus, berusaha pura-pura santai padahal dalam hati ingin menari tango. “Omonganmu persis cowok dalam film romantis.”

“Mau muntah karena eneg, ya?”

Tanpa bisa kutahan tawa pun lolos dari bibirku. Air mata hangat muncul di sudut mata, membuatku kesulitan melihat selama beberapa saat saja. “Nggak,” kilahku sembari menyeka ujung mata dengan kausku.

“Kitty, kamu mungkin perlu mendengar ini.”

“Hmm katakan. Aku siap.”

Xavier menghela napas, sangat panjang sampai aku waswas dia ingin merobohkan apartemenku seperti yang dilakukan serigala terhadap para babi cilik yang membangun rumah dari jerami dan ranting.

“Clover pernah memperingatkanku,” katanya melakukan pengakuan.

“Kakakku?”

“Ya,” dia membenarkan, “sewaktu kami tidak sengaja bertemu di luar negeri. Dia bertanya kepadaku, ‘Apa kamu masih naksir adikku?’ Lalu, kujawab saja ya. Aku masih ada rasa denganmu. Kamu tahu apa yang dia katakan selanjutnya? Dia bilang agar aku menjauh dari urusan dendam. Terus terang dulu aku sempat curhat mengenai Papa. Barangkali itulah yang membuat Clover memutuskan memberiku petuah. Nasihat bijak supaya aku nggak terjebak di masa lalu.”

Clover.... Dasar kakak payah! Kupikir dia tipe dingin setelah dewasa. Ternyata, oh ternyata. Dia bisa bertindak keren.

“Aku nggak mau kehilangan kamu,” katanya melanjutkan. “Demi apa pun. Seperti ada suara dalam diriku yang selalu memperingatkan supaya tetap mempertahankan dirimu. Karena itu, aku rela melepaskan masa lalu. Rela melupakan Papa dan fokus pada apa yang ada di sekitarku.”

Telunjukku mulai menelusuri pola yang tercetak di selimut. “Tante?”

“Dia bahkan nggak pernah memikirkan Papa,” kata Xavier sembari terkekeh. “Mama lebih peduli dengan cowok mana pun yang dekat denganmu. Akan kuberitahu sesuatu. Mama pernah mengusili salah satu cowok yang ingin pendekatan denganmu.”

“...”

Sialan! Ternyata ini salah satu dari sekian alasan aku jomlo. Selain gara-gara keluargaku, tidak kusangka tetanggaku ikut memberi sumbangan! Ingin rasanya berteriak dan mengamuk!

“Hei, ini nggak adil!” pekikku seraya menghadiahi Xavier dengan gelitikan. Hah! Makan seranganku! Rasakan semua kemarahan dan keputusasaan seorang jomlo! Pantas saja aku merasa ada yang aneh dengan lingkunganku! Bukan hanya orangtuaku dan Clover, melainkan Tante Sandra ... mereka pelaku kejahatan!

Aaaaa sebal! Sebal!

***
Selesai ditulis pada 21 April 2024.

***
Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman atas kebaikan dan pengertiannya. Hehehe terima kasih menemani saya menulis Kitty. Sebentar lagi selesai dan saya akan menerbitkan cerita baru. Nggak tranmigrasi. Hahahahaha ada deh. Semoga nanti kalian suka (tolong jangan berekpektasi saya nulis keren. Nggaaaaak! Kemampuan saya biasa saja, di bawah standar).

Nanti akan saya berikan informasi ceritanya. Huhuhu.

Salam cinta dan kegembiraan untuk kalian semua, teman-teman.

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang