19

2.2K 406 5
                                    

NOTE: EKSTRA MR. VILLAIN IS TOO PERFECT EPISODE 2 SUDAH TERBIT DI KARYAKARSA! Hihihi selamat membaca.

***

Bila ada masalah yang tidak bisa kuhindari, maka terpaksa harus kulawan dengan cara lain. Oh yeah, aku tidak tertarik jadi pahlawan. Sama sekali. Buat apa? Dalam epik kepahlawanan sudah pasti tokoh utamanya berakhir tidak bahagia. Hercules tewas di tangan kekasih, Beowulf yang dihajar oleh monster keji, lalu ada Achiles. Pahlawan sepertinya orang paling banyak berkorban dan diperas emosinya. Aku tidak mau jadi pahlawan!

Lupakan topik mengenai pahlawan. Sekarang aku sedang duduk, lagi, bersama Deon. Kami ada di salah satu restoran yang cukup terkenal. Aku suka menu ayam yang ada di sana. Semua enak dan porsinya lumayan bikin puas.

“Aku nggak akan sungkan,” ucapku dengan penuh percaya diri.

Hei, jangan malu-malu. Rugi! Lagi pula, orang sekelas Deon pasti punya kantong uang di mana pun. Ibarat orang menabung, bisa saja dia punya tabungan di sejumlah bank. Hehe baik sekali otakku ini. Jenius!

“Kamu boleh pesan apa pun,” sambut Deon dengan senyum ramah.

Maka dari itu, aku pun memesan ayam goreng saus pedas manis lalu.... Hmmm kutunjuk saja. Andai tidak habis, tinggal minta tolong pelayan agar membungkusnya. Akan kubawa pulang! Buat apa kutinggal? Rugi! Akan lebih berguna bila kubawa pulang sebagai pengganjal perut di kala lapar. Sempurna.

Tidak terjadi percakapan selama makan. Aku fokus menandaskan makanan dan ada beberapa menu yang tidak tersentuh olehku karena telanjur kenyang. Seperti rencana awal, aku minta bungkus. Persetan Deon jijik melihatku. Tidak boleh, ya, menyia-nyiakan makanan! Harus kumakan!

Setelah kenyang, Deon mengajakku mendinginkan kepala di taman. Aku suka berdiam diri, jadi pengamat, dan tidak melakukan apa pun. Sekalipun diriku sebenarnya cukup cerewet bila berada di dekat orang yang kupercaya, tapi kadang mulutku memilih diam dan tidak mengatakan apa pun saat berada di tempat asing.

Taman yang kami kunjungi memiliki sebuah danau buatan. Di sekitar danau tampak beberapa orang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mulai dari berfoto, sekadar jalan, atau pacaran. Aku dan Deon duduk di sebuah bangku kayu yang menghadap langsung ke danau. Angin dingin membelai wajah, membuatku merasa tenang.

“Apa kamu nggak takut dimarahi bos?” tanyaku dengan nada acuh tak acuh. Pandangan mataku terfokus ke danau yang airnya tampak berkilau ditempa cahaya matahari. “Nanti kamu bisa dipecat.”

Ha ha siapa juga yang bisa memecat Deon?

“Aku pengin refresing,” kata Deon.

“Hmm pasti berat, ya, jadi orang penting?”

Deon terkekeh. “Kamu pikir aku orang penting?”

“Baunya, sih.”

Ingin langsung mengutarakan ganjalan di hati, tapi basa-basi dan tetek bengeknya sungguh menjenuhkan. Aku hanya ingin Xavier jauh dari perdebatan maupun perseteruan keluaga. Buat apa saling bunuh? Papa Xavier tidak penting! Lelaki playboy seperti itu tidak pantas mendapatkan perhatian apa pun! Tidak penting.

“Deon,” panggilku sembari mengalihkan pandang dari danau. Kini aku fokus menatap Deon yang balas menatapku. “Sebenarnya aku mengenal saudara tirimu, Xavier.”

Sebut aku gila! Masa bodoh. Aku harus menjelaskan sesuatu. Harus.

Tidak menunggu respons dari Deon, aku berkata, “Jangan lanjutkan perseteruan apa pun. Kamu nggak harus mengikuti kemauan papamu, ‘kan?”

Dari novel kudapat informasi bahwa papanya Xavier termasuk oknum yang membuat sengketa antara Deon dan Xavier memanas. Biasanya orangtua berusaha melerai, mendinginkan emosi anak, dan meluruskan sesuatu. Namun, bapak yang satu ini kebangetan jeleknya! Hanya karena mengincar proyek bernilai besar milik Xavier, dia memanfaatkan Deon untuk melancarkan rencana merebut proyek tersebut.

Tidak! Aku tidak akan mengizinkan Xavier sengsara!

Ehem karena dia calon pacar yang mungkin jadi calon suami yang bisa saja jadi ayah dari anak-anakku. Ahahahahaha!

“Ya,” aku membenarkan apa pun yang mungkin muncul di benak Deon, “Xavier dan aku berkencan. Seharusnya aku memperkenalkan diri sebagai calon iparmu, ‘kan?”

“Kitty, apa kamu nggak takut aku berniat buruk setelah mendengar pengakuanmu?”

“Kamu bukan tipe yang senang menyerang orang tanpa alasan,” aku memberanikan diri mengeluarkan pendapat. “Deon, hanya orang sinting saja yang kamu incar. Jenis orang yang merugikan dirimu. Aku nggak menginginkan apa pun darimu. Nggak ada alasan khusus buatmu ... membenciku.”

Deon terkekeh. Dia mengacak rambutku seolah diriku ini kucing yang pantas dibelai dengan kasih sayang.

“Luar biasa nyalimu, ya,” pujinya dengan senyum cemerlang.

Setelah puas mengacak rambutku, dia tidak memberiku uang ganti rugi. Sialan.

“Lupakan perihal pujian,” sahutku, suntuk karena rambutku berantakan. “Ada hal lain yang jauh lebih penting daripada mengacak rambutku. Deon, tolong jangan pernah mengusik Xavier dalam hal apa pun.”

Salah satu alis Deon terangkat. “Untuk apa aku mengusik Xavier?”

Aku mendengkus. “Kamu memang nggak punya alasan,” koreksiku, “sekarang. Namun, nggak menutup kemungkinan suatu saat ada oknum yang mengharapkan bantuanmu mengganggu Xavier.”

Sejenak kuhela napas dan mengembuskannya secara kasar.

“Deon,” lanjutku, dalam, “kamu punya masa depan cerah. Jangan mau dimanfaatkan oleh orang ... bahkan orang terdekat sekalipun.”

“Tenang saja. Pengalaman mengajariku banyak hal.”

Haaaa itu sebelum Rayand Sanders, ayah Deon dan Xavier, campur tangan.

“Bahkan ayahmu?” tembakku, langsung.

“Kenapa?”

Aku mengedikkan bahu. “Kadang ada orangtua yang nggak bisa melihat anaknya bahagia. Oh tunggu, ya, bukan bermaksud sebar gosip, tapiiiii. Hei, kamu perlu mendengarkan ini.”

Deon menyentil dahiku, membuatku memekik.

“Beri aku kisah menarik agar bisa kupertimbangkan.”

Kurang ajar! “Baiklah,” kataku menyanggupi. “Akan kuceritakan mengenai kisah tragis. Jadi, ada seorang raja yang menolak tua. Dia tidak mau menua dan melakukan segala hal yang menurutnya bisa membuat dirinya muda.”

Deon memberiku perhatian penuh. Bagus.

“Raja itu percaya bahwa tidur dengan seorang gadis akan mengembalikan kemudaannya,” lanjutku. “Maka, dia pun memilih seorang putri dari kerajan asing dan menitipkannya kepada salah satu orang kepercayaan. Putri itu masih berada di bawah umur, muda, dan raja bermaksud menyentuhnya saat dewasa.”

“Sepertinya raja ini sangat bersemangat,” kata Deon.

“Memang,” aku membenarkan. “Yang raja tidak perkirakan ialah kehadiran pangeran, putranya. Pangeran itu jatuh hati kepada sang putri dan menikahinya. Raja yang mengetahui perbuatan pangeran pun murka. Dia menghukum orang yang dipercaya membesarkan putri dan berkata kepada putranya, ‘Bila engkau menginginkan takhta, maka lepaskan sang putri.’ Pangeran memilih membunuh sang putri dan membuat raja semakin marah.”

Sejenak Deon terdiam. Sebelum ia berkata dengan nada dingin. “Putri itu bahkan tidak bisa menikmati kebahagiaan.”

“Akhir si raja paling tragis,” aku menambahkan. “Lalu, putranya, sang pangeran, terjebak dengan kemelut peperangan. Pada dasarnya tidak ada yang bahagia dalam kisah ini.”

Kuharap Deon paham maksudku.

Hati-hati dalam memercayakan hati.

***
Selesai ditulis pada 16 April 2024.

***
Malam ini ada orang main petasan. Saya nggak bisa konsentrasi dan kucing saya ketakutan! Hiks. Sedih benget!

P.S: Jangan lupa jaga kesehatan!

P.S: Love youuuu, teman-teman.

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang