23

2.3K 379 12
                                    

“Asal Xavier, aku nggak akan merasa waswas.”

Itulah petuah yang Clover ucapkan sebelum kami berpisah. Dia kembali kerja, aku pulang. Enaknya kerja tidak terikat aturan ketat. Aku tidak perlu pusing bangun di waktu tertentu. Tidak harus memikirkan cara mengelak dari konflik antara rekan kerja. Tidak memikirkan seragam, pakaian, cara rias. Benar-benar bebas.

Hak khusus pekerja di bidang seni ... atau aku saja yang memang beruntung punya pintu belakang menuju hidup santai. Terus terang, bekerja di bawah tekanan bukanlah cita-citaku. Aku tidak suka harus berhadapan dengan bos. Kebahagiaan milikku bisa mengempis hanya karena mendengar kata kerja keras siang malam membanting tulang sampai lupa istirahat. Itu terlalu mengerikan!

Aku berjalan santai di trotoar. Ingin naik bus. Perlu cari halte. Di sana, di halte, ada beberapa orang yang juga sama sepertiku. Mereka sedang menunggu bus. Di dunia ini atau dunia asalku, udara baunya terkontaminasi polusi. Bermacam polusi udara; asap kendaraan, parfum murahan yang tidak bisa berdamai dengan bau keringat, rokok, dan lain-lain.

Bisa saja memesan taksi online, tapi kadang aku butuh membaur dengan keramaian. Tidak perlu jadi sorotan utama. Cukup jadi pengamat. Bus yang kunanti tiba. Aku naik melalui pintu depan, sementara pintu belakang digunakan oleh penumpang yang ingin turun.

Aku duduk di dekat jendela. Titik terenak untuk mengamati jalanan.

Tidak ada pengamen maupun pedagang asongan. Negeri ini cukup makmur. Sekalipun ada pengamen, maka mereka bukan tipe yang mendekati warung maupun mampir dari rumah ke rumah. Biasanya mereka, pengamen, akan mengadakan konser, yah apalah sebutannya, pertunjukkan sederhana di taman maupun tempat tertentu. Tidak ada paksaan harus membayar. Semua orang memberi secara sukarela. Uang-uang akan dimasukkan ke dalam toples, topi, atau benda apa pun yang pengamen jadikan sebagai wadah.

Penampilan pengamen di sini sangat mengagumkan. Jauh dari kata lusuh. Suara dan cara bermain alat musik pun keren. Tidak jarang mereka, para pengamen, justru berakhir sebagai penyanyi karena berhasil menggaet produser.

Suara dering ponsel mengalihkan perhatianku. Aku mengecek layar, membaca pesan menyebalkan dari editor.

[Irene nanti harus digambarkan cantik, cerdas, kuat, dan jangan berani membunuhnya! Kuperingatkan sekali lagi. Kamu dilarang keras membunuh Irene demi alasan apa pun!]

Ha ha ha. Mentang-mentang pacarnya kelas kakap, beraninya menginjak kebebasanku dalam berkreativitas. Aku tidak suka dilarang! Makin dilarang, makin ingin kulawan! Biar saja Irene mengancamku dengan si pacar atau papanya! Lagi pula, aku punya Xavier. Apa guna pacar keren kalau tidak bisa kudorong ke medan perang? Biar dia yang maju demi diriku. Siapa suruh naksir aku? Tidak ada, ‘kan?

[Nggak janji.]

Itulah yang kuketik di ponsel sebagai balasan.

Tidak ada yang boleh melarangku selain Papa dan Mama!

***

“Kenapa kamu ada di sini?” teriakku saat mendapati Xavier tengah menunggu diriku tepat di depan pintu apartemen. “Kamu kurang kerjaan? Apa kantor nggak sadis, nih? Biasanya bos besar paling sering lembur. Kok kamu santai benar, sih?”

Tentu saja Xavier tidak membalas rentetan pertanyaanku dengan jawaban. Dia menunjuk dua tas karton besar warna cokelat tua. Tepatnya, dia mengangkat dua tas karton tersebut. “Aku membawa hadiah.”

Aku maju, merogoh kartu dari saku celana, dan lekas memasukkan ke dalam mesin yang berfungsi sebagai kunci. Setelah menekan beberapa angka, barulah pintu terbuka. Cukup keren juga inovasi ini. Berkat Clover aku bisa merasakan enaknya punya apartemen elite.

Xavier mengekor di belakangku. Dia langsung meletakkan tas di atas sofa. Sama sekali tidak peduli aku sudah menutup pintu maupun tidak. Hebat.

“Mau tahu sesuatu?” sindirku dengan gaya sok kuat. “Aku baru saja menemui kakakku.”

“Pasti minta restu, ya?”

“...”

Tidak! Aku cuma ingin tanya, tapi.... Benar juga. Bisa disebut minta restu secara tidak langsung.

“Nggak perlu minta restu,” kata Xavier seraya mengeluarkan sejumlah buku dari dalam tas. “Aku yakin dia pasti setuju denganku. Tepatnya, dia nggak pernah suka dengan cowok mana pun yang pernah dekat denganmu. Hanya aku. Kakakmu memang bijaksana.”

Buku-buku dalam beragam kover, ukuran, dan warna pun bertumpuk rapi di meja. Xavier punya kebiasaan baru yakni, gemar menghujaniku dengan buku.

“Hei,” kataku sambil meraih salah satu buku, “kenapa dengan buku?”

“Karena kamu suka menghabiskan waktu dengan membaca, ‘kan?” Dia merebahkan diri di sofa. Senyum puas terlukis di wajahnya yang sedikit merona, entah karena suhu di luar tadi atau ada yang salah dengan sistem peredaran darah miliknya. “Kamu nggak suka bersolek. Membeli kosmetik dan baju sepertinya nggak banyak membantuku memperoleh simpati darimu.”

Kuputar bola mata. Ingin rasanya melempar buku ke kepala Xavier, tapi sayang. “Aku nggak bisa dandan,” koreksiku dengan nada kesal. “Aslinya aku juga ingin jago mempercantik diri. Sayang ilmuku dangkal.”

“Kamu mau ikut les kecantikan?”

Aku memeluk buku seolah benda itu bisa memberiku pencerahan. “Nggak,” jawabku tanpa ragu. Ternyata tidak perlu bimbingan dari buku untuk yang satu ini. “Aku nggak punya cukup motivasi.”

Haaa motivasi!

Lekas kuistirahatkan diri di samping Xavier, membiarkan tangannya melingkari pinggangku dan menarikku mendekat ke arahnya. “Sebenarnya,” aku mengaku, “nggak bisa membedakan toner ... errr aku bingung toner yang cocok untuk kulitku. Aku bahkan nggak tahu kulitku masuk kering, normal, atau berminyak. Soalnya, ya, Xavier Manis.... Keningku berminyak, tapi pipiku nggak. Lalu, hidungku! Oh, ya! Aku bingung membedakan warna perona pipi yang cocok untuk warna kulitku.”

“Kamu bisa mencoba belajar dari dasar.”

“Takut gurunya kesal dan memutuskan mengundurkan diri karena sadar aku nggak bisa terselamatkan.”

Xavier terkekeh mendengar komentarku yang tidak lucu. “Ternyata ada juga yang kamu takutkan.”

“Banyak kok.” Aku takut nggak punya uang! Itu juga salah satu hal yang membuatku waswas. “Takut nggak punya uang.”

“Royalti dari novelmu sepertinya cukup menggiurkan.”

Aku mengangkat bahu, ringan dan kuharap gerakan itu cukup mengesankan diriku cukup santai di depan Xavier. “Kalau ingin nikah, kan, uang milikku ... kurang banyak.”

“Kamu nggak perlu mikir seberat itu, Kitty.”

“Xavier, nikah itu bukan perkara tanda tangan ke catatan sipil doang,” ucapku merepet tiada henti. “Aku perlu mempertimbangkan uang untuk kepentingan anak. Bagaimanapun juga mereka harus bersekolah di tempat terbaik. Lalu, uang jajan. Itu belum termasuk biaya bersalin, kesehatan anak, pakaian....”

“Kitty,” katanya menghentikan omelanku, “aku kerja siang malam lho. Kamu pikir itu sekadar hobiku? Enggak, Kitty. Aku kerja demi masa depan keluargaku. Kujamin anak-anak kita akan mendapatkan pendidikan terbaik. Kamu nggak perlu menggunakan uang milikmu. Pakai saja uangmu untuk hal lain.”

Ciiiih sombong. “Yakin? Nanti protes. Seperti ‘nafkah anak bukan hanya tanggung jawab suami’. Begitu. Aku nggak mau, ya, mendengar keluhanmu.”

Xavier pun terbahak. “Aku akan melegalkan tuntutanmu. Nanti, kalau kulanggar ... biar aku dapat denda.”

Ada yang salah dengan Xavier. Mana ada pria sefiktif novel begini?

***
Selesai ditulis pada 20 April 2024.

***
Huhuhu saya nggak merencanakan jumlah episode di sini akan banyak. :”) Hahaha ingin nyicil menamatkan Clea. Biar bisa lanjut ke novel fantasi lain. Hiks.

Terima kasih telah mampir menengok Kitty.

P.S: Makasih koreksi typo. Huhuhu makasih.

P.S: Loooooveeeee buat kalian semua, teman-teman.

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang