14

2.6K 434 6
                                    

Astaga. Astaga. Astaga! Yang benar saja, sih?! Ini sama saja dengan menggali kuburku sendiri. Bagaimana bisa aku secara sukarela memperkenalkan diri kepada tokoh utama sinting? Sesial inikah diriku? Apa aku perlu mencari dukun, ahli nujum, atau penyihir sekalian agar membersihkan nasib buruk dalam tubuhku? Sekadar jaga-jaga andai benar ada permasalahan pada keberuntungan milikku.

“Deon Sanders.”

Dalam keadaan genting ada dua pilihan yang bisa kuambil. Satu, melawan sampai titik darah penghabisan. Itu bisa kupilih andai aku tahu kemampuan milikku jauh lebih tinggi daripada punya lawan. Jadi, melawan sampai sekarat bukan pilihan bijak. Dua, melarikan diri. Lari, lari sejauh mungkin dan jangan menengok ke belakang. Sialnya melarikan diri seperti pengecut pun tidak bisa kuambil. Notabene tanganku masih digenggam Deon. Yang ada dia ikut lari denganku. Bisa-bisa orang salah mengira kami ingin kawin lari. Hiiiii ngeri.

Susah payah kupaksa seulas senyum muncul di bibir. Kaku sekali ototku. Pasti tampilan wajahku mirip orang sedang menahan buang hajat. Jelek banget!

“Oh Deon ... ha nama yang bagus,” kataku pura-pura tidak tahu. Iya, tidak tahu malu dan tidak tahu diri merupakan sahabat karib. Tidak ada salahnya mengikuti petuah orang tebal muka. Di saat seperti ini abaikan harga diri. Selamat jauh lebih penting daripada apa pun. Aku mau pulang. Kabur!

“Senang punya kenalan baru.”

‘Iya, makasih. Tapi, kapan tanganku dilepas?’ gerutuku dalam hati.

“Ha sama-sama,” sahutku sembari berusaha membebaskan diri. Sialnya cengkeraman Deon menguat. Persis elang yang berhasil menangkap kelinci. “Begini ... aku mau makan.” Kuberikan kode melalui mata agar Deon melirik piring berisi kue. “Atau, kamu ingin ikut makan? Kebetulan aku sudah memastikan ada banyak kue enak.”

Deon terkekeh. Kuharap dia tidak kena sawan karena punya aura tidak mengenakkan. Konon orang ganteng banyak diikuti oleh makhluk halus. (Hasil dari kibulanku doang, sih. Tidak ada bukti otentik.)

“Sepertinya kita bisa makan bersama.” Deon akhirnya bersedia melepasku. “Tolong jadi pemandu, dengan begitu aku nggak salah pilih.”

Tidak! Bukan ini yang kuharapkan. Namun, nasi telah menjadi bubur. Sekalian saja kukasih kacang, kecap, suwiran ayam, bawang goreng, kerupuk ... intinya, kubikin enak.

Seperti pegawai yang terlatih. Aku pun menunjuk beberapa kue beserta camilan yang menurutku enak. Peduli setan dengan kadar gula ataupun tekanan darah Deon. Seandainya dia kena diabetes atau darah tinggi, maka kesalahan terletak pada dirinya sendiri. Dia, bukan aku! Titik!

Untung di pesta besar begini ada pojok yang khusus disediakan bagi orang-orang yang ingin makan. Meja dan kursi. Cocok sekali. Itulah yang kubutuhkan.

Kami memilih meja yang ada di dekat patung es berupa sepasang angsa. Sejauh ini tidak ada percakapan. Hanya makan, makan, makan, mengunyah, telan, mengunyah, telan. Begitu saja.

Deon tidak tahu saja bahwa di dalam hatiku ada badai. Aku takut dia ingat bahwa gara-gara aku ayahnya hampir jadi korban amuk. Kepada semesta raya, tolong jangan sampai Deon tahu bahwa bocah cilik biang masalah waktu itu adalah aku! Tolong! Tolong ini penting. Bantu aku. SOS.

“Kitty, sepertinya aku pernah ketemu kamu.”

Gawat! Tenggorokkanku seolah menyempit hingga membuatku kesulitan menelan makanan. Lekas kuraih gelas dan minum. Untung tadi aku menyempatkan diri cari minuman. Kalau tidak, sudah pasti saat ini aku terbaring di lantai, kejang-kejang dengan mulut berbusa, dan melayang menuju angkasa raya. Alias, tewas.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Deon dengan raut wajah khawatis. Semoga saja dia cemas betulan, bukan pura-pura.

Aku menggeleng. “Aman,” kataku berusaha menenangkan. “Aku baik-baik saja. Eh, tadi apa? Sepertinya ini kali pertama aku ketemu kamu.”

Deon menghentikan kegiatannya memotong kue di piring dengan garpu. “Benarkah?”

Harus iya dong! “Bisa jadi kamu pernah ketemu aku di halte, stasiun, mana pun deh. Atau, wajahku ini memang pasaran. Jadi, kamu mengira pernah ketemu aku padahal enggak. Hahaha bisa, ‘kan?”

‘Pintar banget aku tuh,’ pujiku dalam hati.

“Hmm mungkin,” Deon mengamini. “Barangkali pernah ketemu di suatu tempat.”

Saat kubilang Deon dan Xavier itu sama busuknya, aku tidak main-main. Novel yang kubaca itu jenis yang gelap dan tidak menjanjikan kesenangan ketika baca. Baik Deon maupun Xavier, keduanya seperti pinang dibelah dua. Jangan tanya mending berada di kubu siapa! Kujawab, tidak perlu memilih. Keduanya sama pahit, busuk, dan mengerikan.

Contoh, ada artis yang berusaha mengejar Deon. Tahu apa yang Deon lakukan? Dia menghancurkan karier artis tersebut dan membuat artis itu tidak bisa kembali ke dunia hiburan. Xavier? Sama saja! Ada anak pebisnis yang kesal karena tunangannya naksir Xavier. Jadilah dia mengembuskan kabar buruk mengenai Xavier. Apa yang terjadi paca cowok itu? Xavier membuat bisnis keluarga cowok itu bangkrut! Remuk seremuk-remuknya. Cowok malang itu berakhir di jalanan.

Hmm paling buruk. Sini, aku kasih tahu. Nasib cewek yang mencoba menjerat Deon dan Xavier. Dih seram. Cukup aku yang tahu saja.

Oh jadi ingat. Aku bisa dibilang dekat dengan Xavier. Lalu, sekarang aku sedang makan kue bersama Deon-eh? Sial! Ini bisa disebut aku menggali jebakan untuk diriku sendiri!

Mendadak kue dalam mulutku terasa pahit. Getir bukan main.

Aku bangkit, mengabaikan kue yang belum habis. “Terima kasih atas pertolongannya. Hmmm aku harus cari ... cari pacarku! Iya, pacarku! Pokoknya terima kasih sekali atas bantuannya. Semoga kamu dijauhkan dari cewek genit mata duitan dan-oh, semoga kamu dapat jodoh yang sesuai dengan keinginanmu. Selamat tinggal!”

Tidak perlu ucapkan sampai jumpa! Tidak perlu!

“Kitty, kenapa? Apa kamu menyesal....”

“Enggak!” sergahku sebelum dia bicara sembarangan. “Aku nggak menyesal. Cuma baru ingat ada pacarku. Iya, pacarku! Pacarku!”

Tanpa menunggu respons dari Deon, aku kabur sekuat tenaga seolah tengah dikejar zombie yang berteriak, “Brain.... Brain!” Kuabaikan sorot ingin tahu beberapa orang yang menangkap basah aku bersama Deon. Mereka tidak penting. Aku butuh abangku!

Clover. Oh pucuk dicinta ulam tiba! Dia ada di dekat ... eh sedang bicara dengan beberapa orang. Bagus, ya? Aku sedang diujung tanduk, tapi dia justru bersantai. Keji!

Kuraih lengan Clover dan mengguncangnya. “Kak, pulang! Ayo pulang!”

“Ada apa, sih? Biasanya juga cari makan dulu kamu,” gerutu Clover yang kini menatapku. “Kenapa? Eh, mana tasmu?”

“...”

Alamak! Aku lupa! Tasku ada di kursi. Tas dan ponsel! Tidaaaaaak!

“Jangan bilang....”

Ingin kucekik diriku sendiri! Aduh! Aku ingin mencekik diriku sendiri yang telah memberiku tambahan beban hidup. Susah sekali memaafkan diri sendiri. Susah! Terlebih bila sadar bahwa diri sendirilah yang menciptakan kesalahan dan kesusahan. Aaaaa aku tidak mau kembali, tapi harus!

Sebal!

***
Selesai ditulis pada 10 April 2024.

***
Hmmmmm subidubidu damdamdamdamdam!

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang