9

3K 546 20
                                    

Mama mengancam akan menyeretku ke rumah andai tidak mau memenuhi permintaannya agar pulang sejenak. Entah apa pun yang ada dalam pikiran Mama, kujamin bukan ide bagus. Demi menghindari perang berdarah, aku pun mengamini tugas menyebalkan: pulang. Namun, cuma sebentar. Pokoknya sebentar saja. Jangan tanya alasan di balik ketakutanku. Insting berkata, “Sejenak. Nggak boleh lebih. Harus sejenak.”

Pukul sepuluh siang aku sampai. Mama sibuk membuat sesuatu di dapur. Kutebak kue. Banyak kue.

“Mama mau jualan?” tanyaku sembari merebahkan diri di kursi. Sumpah lelah bukan main. “Kok Papa nggak ngabarin?”

“Siapa yang mau jualan?” balas Mama sembari menarik loyang keluar dari oven. Aroma kayu manis dan gula pun mengepul di udara, membuat perutku keroncongan. “Semua kue ini pesanan Tante Sandra.”

“Jualan dong,” aku mengoreksi. “Tante beli, Mama jual. Kenapa omongan kita nggak nyambung?”

“Beda,” Mama menolak mengakui, “kue ini nggak Mama jual. Gratis. Soalnya Xavier pulang. Eh dia udah dua hari ada di sini. Nanyain kamu terus.”

Untung aku tidak sedang minum atau makan. Bisa-bisa tersedak. “Hah? Kenapa bawa-bawa aku, sih?”

Mama mulai memotong kue dan mengoleskan krim berwarna putih. Sesekali ia taburkan potongan buah segar dan beberapa keping cokelat. “Mana Mama tahu.”

Hilih alasan!

Mendadak pantatku terasa panas. Satu, dua, tiga ... yups kabur. “Ma, aku ada janji.” Kugaruk kepala yang terasa panas akibat beban pikiran. “Penting banget.”

“Sepenting apa?” Mama memindahkan potongan kue yang sudah jadi ke wadah khusus. “Mau ketemu calon suami? Nanti dulu. Aturan pertama harus ketemu Mama dan Papa, baru boleh kamu nikah. Paham?”

Kecut! “Kerjaan! Aku ada kerjaan!”

Wajahku pastilah merah padam. Clover bisa menangkis semua pertanyaan perihal menikah yang selalu dilontarkan orangtua maupun kerabat. Caranya? Iya, menumbalkan diriku. “Aku nggak akan nikah sebelum Kitty ketemu jodoh,” katanya kepada siapa pun. Alias, aku jadi tumbal proyek.

“Jangan gitu dong,” Mama melarang. “Kan Mama sudah menghubungi Tante Sandra. Mama bilang kamu ada di rumah. Tunggu sampai-eh, boleh juga. Kamu tolong antar kue ke rumah Tante, ya? Hitung-hitung biar ketemu sekalian dengan Tante. Dia sangat rinduuuuu denganmu.”

Tamat! Mama berjalan ke arahku, membawa dua kotak kue dalam wadah karton, dan meletakkannya di meja makan ... tepat di depanku.

Dua benda itu seolah mengolok diriku, mempermalukan dedikasi hidup yang kuyakini valid, dan menyuruhku lompat ke kolam terdekat. Boleh saja lompat, tapi di sini tidak ada kolam ikan.

“Antar ke sana, ya?” Mama mengedip genit.

***

Aku mirip kurir. Tapi, kurir yang tidak keren. Biasanya kurir mengenakan jaket bagus, aku justru mengenakan kaus ukuran XL dan celana jins hitam. Sepatu taliku juga tidak banyak membantu mengerenkan diriku. Untung rambut kuikat ... seadanya dengan gelang karet. Aku terlalu tidak bersemangat menjalani hidup sebagai orang dewasa.

Rumah Tante Sandra masih sama seperti dulu. Tidak ada banyak yang berubah. Adapun yang berubah ialah, kendaraan. Sekarang di teras terparkir dua mobil keren. Satu merah, satu hitam. Aku melenggang santai menuju pintu, menekan bel, dan menunggu.

“Kitty,” teriak Tante Sandra dari dalam rumah, “akhirnya kamu datang juga, Maniiiiiiis!”

Pintu terbuka, menampilkan Tante dalam balutan gaun santai. Dia masih terlihat cantik dan memukau sekalipun ada sedikit garis keriput di sudut mata. Oh tidak perlu keahlian dukun untuk tahu alasan Tante bisa menebak gerangan yang menghampiri dirinya. Pasti Mama pelaku, si ember. Hiiiiih kesal.

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang