4

3.4K 593 16
                                    

“Kenapa Xavier semobil dengan kita?”

Tolong katakan bahwa mataku salah lihat. Xavier tidak sedang mengenakan seragam sekolah yang sama dengan Clover. Dia juga tidak duduk di dekatku. Pasti salah. Salah!

“Kitty, Papa akan langsung mengantarmu ke sekolah,” jawab Papa mengabaikan pertanyaanku. Dia memilih mengecek sabuk pengaman. Sama sekali tidak tanggap.

Oh sebelum bingung akan kujelaskan beberapa hal.

Satu, mengenai mobil keluargaku. Ada satu kursi balita khusus untukku. Jadi, aku duduk di situ. Sialnya kursi itu dekat dengan kursi yang diduduki Xavier. Clover memilih duduk di depan, di samping Papa.

Dua, aku balita empat tahun yang sudah diperkenalkan dengan pendidikan dini. Khusus balita, tapi tetap saja yang namanya sekolah memang menyebalkan (bagiku, ya).

Tiga, SD Clover dekat dengan tempatku bersekolah. Alias, masih satu area gedung.

“Paaa, kenapa Xavier semobil dengan kita?”

“Karena Tante nggak bisa mengantar Xavier,” Papa akhirnya bersedia menjelaskan.

Sontak wajahku cemberut. Asam sekali aroma ini. Wangi kejengkelan akibat bertetangga dengan calon beban hidup!

“Mau duduk dengan Kakak,” rengekku tidak tahu diri.

“Nanti aku temani nonton Mr. Puffy,” balas Clover yang sejauh ini lebih tertarik membaca buku daripada memperhatikanku.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku tidak sudi menengok ke arah Xavier. Bisa-bisa tekanan darahku melejit. Sekalipun kuperhatikan hubungan di antara Clover dan Xavier belum terjalin solid, tapi tidak ada salahnya sedia payung sebelum hujan.

Mendadak lampu pikiran dalam benakku pun menyala. Ting!

“Xavi, sekelas dengan Kakak?”

“Panggil aku Kak Xavi,” kata Xavier dengan nada jenaka alias ingin kuhajar dia.

Untung Papa menyela, bilang bahwa Xavier tidak sekelas dengan Clover. Itu artinya interaksi antara kedua bocah itu tidak akan terlalu lengket. Semoga saja jangan sampai menempel erat! Bisa susah aku!

Sesampainya di tujuan, Papa langsung menggendongku. “Clover, tolong temani Xavier, ya?”

Aku tidak sempat protes karena Papa telanjur membawaku pergi. Hanya satu kata saja yang sempat kuteriaakkan: “Kakaaaaaak!” Ironisnya, oknum yang kupikirkan sampai kepala cenat-cenut hanya melambaikan tangan saja.

***

Aku tidak suka sekolah. Di sana isinya anak-anak kelebihan energi yang hobi menggangguku. Contohnya, sekarang.

“Kitty, Kitty, Kitty.”

Ada seorang bocah bernama Steve. Dia anak paling menyebalkan yang pernah kukenal. Hobinya mengekoriku ke sana dan ke sini. Kadang dia mencubit pipiku. Lain hari dia memaksaku menerima kue. Di lain waktu dia ngotot ingin semeja denganku.

Bayangkan saja harus melewati masa sekolah dan mengikuti pelajaran tiada habisnya! SD, SMP, SMA, lalu kuliah. Coba kuhitung pengeluaran dan hiiiiih lebih baik uangnya kupakai untuk deposito di bank saja!

“Kenapa Kitty cemberut?” tanya Steve sok asyik.

“Hmm kamu nggak bakal ngerti.”

“Kenapa?”

“Pokoknya kamu nggak bakal paham.”

Sepanjang pelajaran pikiranku hanya terfokus ke cara memisahkan Clover dan Xavier. Apa aku harus mengebom rumah tetanggaku? Oke, beli mesiu dalam jumlah banyak dan harga murah. Nah, di mana toko yang bisa mengakomodasi kebutuhanku?

Bahkan setelah pelajaran selesai dan aku bisa pulang pun, hati ini tetap resah. Tawaran beli es krim dari Mama yang menjemput pun sama sekali tidak kusambut.

Sore ketika Clover pulang, barulah hatiku sedikit tenang. Aku langsung bergegas ke teras, tidak peduli memakai gaun bertema lebah dan sepatu bulu berwarna kuning. Pokoknya temui Clover dulu, yang lain minggir!

“Kakaaaaak!” teriakku sembari merentangkan kedua tangan, berlari cantik ala drama Korea, dan langsung menghamburkan diri ke pelukan Clover. “Lama! Lamaaaaa!”

“Kenapa kamu pakai kostum aneh lagi, sih?” komentar Clover sembari menjatuhkan ciuman di keningku. “Kamu ingin jadi lebah madu?”

Ini kostum pemberian teman Mama yang hobinya aneh semua! Salahkan mereka!

“Kitty, biarkan kakakmu istirahat,” kata Papa. Dia langsung masuk ke rumah. Lupa kalau aku juga butuh disayang olehnya! Hei, kembali!

Kulihat Xavier turun dari mobil. Dia terlihat santai. Ujung bibirnya melengkung ketika melihatku. Dengan langkah elegan bagai bintang besar dia menghampiriku. “Ada lebah gembul di sini.”

Sialan! “Aku nggak gembul!” raungku karena merasa harga diri terinjak-injak. “Kakak, gigit dia! Dia nakal!”

Kening Clover pun berkerut. “Aku nggak suka gigit orang.”

“Tapi, dia bukan orang,” balasku sembari merengek manja. “Xavi peri jahat.”

“Oh aku peri?” ledek Xavier yang kini berjongkok di sampingku. “Mau aku kutuk jadi jeruk lemon?”

“Kamu aku kutuk jadi tawon!” balasku sembari berusaha menubrukkan diri kepada Xavier.

Alih-alih berhasil menyingkirkan Xavier, aku justru terjebak dalam pelukan. Hah? Dia mencuri kesempatan menyerap energi positif dari tubuhku. Kurang ajar!

“Clover, adikmu boleh buatku, enggak?”

“Waaaa!” Aku berusaha meronta, tapi percuma. Kalah tenaga. Kalah tinggi. Kalah aura. Kalah segalanya. Hiks.

“Nggak,” Clover menolak. Dia melepaskanku dari belitan pangeran keji. Kemudian aku pun memeluk Clover, berusaha mencuri energi positif dari tubuhnya.

“Yakin?” tanya Xavier sembari terkekeh.

“Xavi, tolong kendalikan dirimu.” Sekalipun kakakku terlihat ramping, tapi dia kuat. Buktinya dia bisa menggendongku.

Kupikir Xavier akan langsung pulang, tapi salah! Ternyata dia juga makan siang sampai makan malam di rumahku! Alasannya? Tante titip! Wanita itu sibuk bekerja dan barangkali menemukan tempat penitipan anak yang murah meriah! Gara-gara dia aku harus bersabar setiap kali Xavier sengaja mengekoriku ke mana pun.

Hal seperti ini berlangsung berhari-hari hingga aku curiga akan menjadi paten. Alias, selamanya.

“Jangan mengikutiku!” ucapku sembari melotot. Minggu! Astaga! Hari Minggu yang seharusnya kunikmati dengan riang! Oh mengapa Xavier ada di rumahku?!  “Kenapa kamu jadi mirip Steve, sih? Membayangi!”

“Mau nonton Mr. Puffy, Kitty?”

“Nggak!” Aku berlari dengan kecepatan menyedihkan. Sengaja aku langsung mengincar kamar Clover. Untung kakakku ada! “Kaaaak, ada penculik!”

Clover mengabaikan buku yang tengah ia baca. Dia meraupku dan berkata, “Xavi bukan penculik, ya.”

“Dia berencana menculikku!” Percayalah aku yakin itu! Meskipun dia tidak mengikutiku sampai ke kamar Clover, tapi kuyakin dia berniat begitu.

“Oh ya, Kakak lupa bilang. Nanti sore kita pergi bersama Xavier ke taman hiburan. Papa, Mama, lalu Tante akan menemani kita.”

Tunggu! Mengapa harus ke taman? Bersama? Kenapa?

“Kaaaak.”

“Iya, nanti kita naik kuda poni.”

Mana ada kuda poni di taman bermain?!

***
Xavier: 😏

***
Selesai ditulis pada 31 Maret 2024.

***
Nanti malam saya nggak update. Hehehe. Saya update pagi ini sekalian. Huhuhu.

P.S: Clea nggak bisa update cepat. Okeeee?

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang