18

2.5K 416 8
                                    

Aku berhasil menyelesaikan naskah tepat waktu. Selain karena editorku cukup bersemangat, bekerja tanpa tekanan finansial sangat menolong memperbaiki mood. Terus terang aku tidak peduli naskah yang akan meluncur ke pasaran nanti berhasil meraup keuntungan maupun tidak. Tidak peduli dengan cara penerbit mematok harga. Satu-satunya yang kuinginkan hanyalah bersantai di apartemenku sembari menyicil menyelesaikan bacaan yang makin menumpuk di rak.

Tentu saja hal terakhir itu hanya mimpi belaka. Xavier rajin mampir, makin kurang ajar karena menganggap apartemenku sebagai rumahnya sendiri. Iya, aku mengerti “anggaplah seperti rumah sendiri”. Namun, bukan berarti dia sungguh menganggap apartemenku sebagai miliknya!

“Ayo kita belanja.”

Ayo, katanya. Padahal praktik di lapangan tidak seperti itu. Xavier memaksaku ikut dengan iming-iming akan memasak apa  pun yang kuinginkan. Berhubung perutku mudah kena bujuk, jadilah kuikuti keinginan Xavier.

Tidak perlu belanja ke tempat jauh. Di sekitar apartemen ada mal maupun sejumlah penjaja makanan. Gampang.

Apa Xavier puas dengan sekadar belanja bersama?

Tentu saja tidak.

Xavier makin bersemangat dalam upaya mengajakku liburan ke pantai. “Apa kamu nggak ingin merasakan perubahan suasana?”

Aku memilih duduk nyaman di sofa, membaca novel mengenai seorang gadis yang tidak bisa tersenyum. “Enggak,” jawabku menolak permintaan Xavier. “Aku nggak suka pantai. Panas, berpasir, dan perlu mengeluarkan tenaga lebih. Mauku duduk nyaman saja.”

“Kamu bilang nggak keberatan....”

“Iya,” potongku seraya membalik halaman berikutnya, “nggak keberatan jadi pacarmu, calon istrimu, terserah. Tapi, bukan berarti aku mau ikut ke pantai. Apa kamu nggak pernah dengar bocoran informasi dari kakakku kalau aku nggak suka aktivitas melelahkan?”

Berpikir termasuk kegiatan melelahkan.

Menulis juga melelahkan.

Membaca curhatan editorku sangat melelahkan.

Pada dasarnya hidup memang melelahkan.

“Bagaimana kalau kencan di danau?” Xavier menawarkan opsi baru. “Sepertinya cukup menghibur.”

“Hmmm entar dulu,” sahutku ogah-ogahan. “Kenapa nggak kencan di sini saja. Aku baca buku, kamu masak, kita berdua hidup dalam kedamaian.”

Baru kali ini aku tahu ada orang yang sebegitu bersemangat mengajakku kencan ke luar. Bahkan pacar khayalan yang mungkin saja terbayang dalam kepalaku saja tidak seheboh ini. Jelas Xavier rusak. Ada yang salah dengan dirinya!

“Hei,” kataku sembari meletakkan buku ke pangkuan, “aku baru menyadari sesuatu. Kok kamu bisa ada di sini? Maksudku, apa nggak ada kegiatan penting selain mengunjungiku, Xavier?”

Kali ini dia tidak pamer senyum. Tumben. “Kamu penting.”

“Mengejar cewek bukan salah satu daftar penting,” balasku, sewot. “Apa kamu nggak pengin memperkaya diri dengan cara bekerja?”

“Aku punya asisten. Lagi pula, pekerjaan bisa kulakukan dari jauh.”

“...”

Dasar tiran!

***

Statusku dengan Xavier. Bisa kusebut pacar. Hanya saja pada kasusku diriku termasuk pacar termalas. Cewek lain pasti akan bersemangat membuat kejutan agar pacarnya bisa merasa menjadi bagian dalam hidup mereka. Tidak sepertiku yang lebih tertarik pada tidur, rebahan, dan menghibur diri sendiri. Haha bekerja itu melelahkan. Makanya, aku senang memanfaatkan waktu dengan cara menyayangi diri sendiri. Alias, aku memang tidak cocok jadi motivator.

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang