3

3.4K 588 15
                                    

Mama suka mengoleksi piama lucu. Mulai dari model kostum beruang, kelinci, sampai kucing. Sayangnya pakaian itu bukan untuk ia kenakan, melainkan sebagai bentuk apresiasi betapa mengagumkannya diriku. Iya, aku yang pakai.

Kali ini Mama memilih piama kostum kelinci putih. Kadang aku penasaran: apa dia tidak takut aku ngompol? Mau ke toilet sekedar buang air kecil itu jadi kegiatan paling merepotkan karena aku harus melepas kostum tidak lucu ini! Iya, ada telinga. Iya, berbulu. Iya, hangat! Namun, tolonglah pikirkan mengenai efisiensi! Repot tahu!

Hmmm sudahlah. Kali ini tidak akan kubiarkan Mama menang. Aku belum punya kamar tidur sendiri. Alias, masih menempel di ketiak Mama. Padahal aslinya itu hanya alasan saja agar Mama dan Papa bisa menyerap energi hidupku sepuas mereka! Alias, aku cuma jadi guling.

“Hihihi takkan kubiarkan Mama dan Papa menang,” bisikku kepada diri sendiri.

Dengan langkah pasti (yang di mata orang dewasa lebih mirip menyeret maju mundur tidak cantik) aku bergegas menuju kamar Clover. Dia tidak pernah mengunci maupun menutup pintu. Alasannya? Ya karena aku dong. Mohon maaf aku ini makhluk paling kerdil serumah. Kenop pintu letaknya tinggi, tidak terjangkau tanganku. Jadilah Clover memutuskan tidak mengunci pintu.

“Kaaaak,” panggilku dengan suara termanis yang sanggup membuat lebah terpeleset.

Kulihat Clover masih sibuk membaca. Dia duduk di ranjang, sudah berganti piama normal bergambar macan lucu. Sungguh berbeda sekali dengan piama milikku! Tunggu yang kupakai memang bukan piama! Yang kupakai itu kostum kelinci putih yang tidak seksi!

“Kitty!”

Clover mengabaikan buku apa pun yang sedang ia baca. Dia lekas turun, menghampiriku, kemudian memeluk dan menggendongku dengan mudahnya. Oh betapa tidak adil pembagian jatah tinggi badan ini. Apa selamanya aku akan jadi mini? Tidak masalah asal nanti dadaku boing boing boing seperti milik Mama. Kalau tidak, aku akan coba pakai bra tiup atau kujejalkan saja kaus kaki. Beres.

“Bobo bareng!” rengekku sembari memeluk leher Clover. “Nggak mau bareng Mama!”

“Oke.”

Hehehe jurus pertama menyelamatkan keluarga dari ancaman kebangkrutan. Satu, pastikan Clover hanya peduli kepadaku! Itu harus. Wajib. Gara-gara dia loyal ke Xavier, maka hancur sudahlah semua bisnis di tangan Deon akibat tendangan maut melawan musuh. Ohooooo mana boleh?

Clover membaringkanku di ranjang. Dia mulai mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Ah apalah namanya. Pokoknya lampu mungil dengan cahaya temaram.

“Kitty, jangan ngompol.”

“Aku nggak ngompol!” teriakku, sengit.

Begitu Clover berbaring, lekas aku menempel dan memeluk kakakku. Ini semua demi menguatkan kesan diriku dalam otaknya! Kupejamkan mata dan anehnya justru terbayang kamar milik Xavier. Kamar Clover jauh lebih hidup daripada kamar Mr. Villain. Ada poster, boneka kucing yang menurutnya mirip denganku (asli nggak ada miripnya), rak berisi komik dan buku pelajaran, lemari, dan sebagainya.

“Kak,” panggilku dengan suara lirih.

“Tidur, ya.”

Dahiku langsung mengerut. “Janji, ya? Pokoknya kamu nggak boleh mengabaikan keluarga. Demi kepentingan apa pun. Nggak boleh.”

“Bocah cilik nggak perlu banyak pikiran. Biar Papa dan Mama saja yang mikir.”

“Kak, aku bakalan ngamuk kalau Kakak peduli ke orang selain aku!”

“Tapi, kita nggak boleh menomorduakan orangtua.”

“Kecuali mereka,” kataku menoleransi. “Serius, Kak. Pokoknya nggak boleh ada cowok lain! Harus aku! Oh jangan terlalu dekat dengan tetangga baru. Dia nggak keren kok. Masih keren aku seribu kali, deh.”

Mr. Villain is Too Perfect (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang