Kembali sebentar pada flashback hari kemarin.
Jia menghela nafas. "Kalau gitu aku ke bawah aja, beli obat sekaligus buat sarapan—"
"Kan bisa online. Pesan aja biar di antar depan pintu."
"Daripada kamu ke bawah sendirian, emang berani?"
Ada benarnya tutur kata Amat. Jia menjawab semestinya. "Engga sih."
"Kan."
"Yaudah. Tapi apa ada orang jual obat di aplikasi gojek?"
"Ada mungkin. Tapi bikin kasihan yang ngantar kan? Telpon teman aku aja Yang, biar mereka yang beliin."
"Ih ini jam sekolah."
"Gak papa. Mereka patuh ko sama aku."
"Hm kayak anjing aja patuh sama majikan." gumam Jia, tapi agak kurang jelas di dengar Amat.
"Hah bilang apa kamu?" Amat mendongak menatap Jia, di posisi masih sama.
"Gak ko. Gak papa."
"Sini handphone kamu."
"Itu di dalam handbag."
Jia menoleh ke samping, badan Amat benda itu berada. Tapi Jia agak kesusahan menjangkau.
"Gak bisa ngambil."
Amat menjangkaunya sendiri, membuka resleting handbag lalu di keluarkan benda gepeng itu. Dengan sebelah tangan, di sodorkan pada Jia tangannya lagi kembali ke posisi semula.
"Ah pengap, kamu rebahan aja di situ—"
"Gak mau."
"Tapi kalau gak rebahan, kepala kamu bisa sakit. Bakalan pusing."
"Lagian aku juga susah nelpon teman kamunya."
"Yaudah kamu rebahan juga, biar enak peluknya."
Jia mendengus. Sama aja bohong. "Jadi manja gini." batin Jia. Karena baru pertama kali menemukan sikap Amat yang seperti ini.
"Tapi aku jadi sesak nafas kamu peluk seerat ini."
"Biarin aja."
"Dih jadi ngeselin deh."
"Nih aku longgarin."
Jia membuka layar ponsel itu, "Kunci lagi, apa passwordnya."
"Jia4."
"Eh nama aku ?"
"Ya siapa lagi."
"Angka empat itu artinya apa?" Jia jadi penasaran sendiri.
"Nama aku lah."
"Nama kamu? kenapa angka empat."
"Ya hitung aja nama panggilan aku ada berapa angka."
"Oh gitu."
"Iya sayang."
Jia jadi salah tingkah sendiri, bahkan pipinya memerah memanas. Namun tetap membuka dan mencari kontak seseorang, "Siapa namanya yang di hubungi?"
"Coba Azis."
Jia mencari nama cowok itu. Di klik ikon telpon tak lama di angkat sang empu.
"Halo bro, ada apaan"
"Eh woi lo kenapa gak sekolah lo"
"Gue Jia. Lo sama siapa di situ ?"
"Oh Jia ya. Tumben nelpon pakai hand—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jia
Teen Fictionuntuk perempuan seperti aku, di sayangi karena keinginan bukan ketulusan seakan tak jadi masalah karena aku sendiri sadar bahwa ketulusan yang sebenarnya aku cari di kamu, ada di keberuntungan aku memiliki kamu. "Kamu berbeda dari lelaki lain" -wal...