"Masuk."
"Ngapain lo ngajak ke sini, gue mau pulang!" ekspresi Jia menajam yang tak bisa menahan kesal sejak di parkiran tadi. Bisa-bisanya Amat bukannya membawa balik ke rumah malah kembali ke apartement.
Yang belum lagi Jia masih emosi di dua lokasi. Pertama di rumah sakit dan kedua di halaman toko retail. Hanya saja Jia berusaha kuat memendamnya.
Langkah kaki Jia yang akan melenggang di cekal langsung lengannya oleh Amat lalu di tarik paksa masuk ke dalam apartement itu. Jia tentu kaget sampai hijabnya lepas dari kepalanya, karena memang tanpa peniti yang hanya ia pasang senyaman -nya.
"Ngapain lo ngapain lo.. kalo di suruh masuk ya masuk." balas Amat bersuara mengimbangi nada bicara Jia.
"Kalau gak mau ngantar, terserah!" ucap Jia tanpa mengambil hijabnya di lantai, ia melenggang akan keluar dari pintu apartment tapi Amat menghalangi bahkan pintu sudah terkunci.
Amat merengkuh tubuh Jia membawa ke kamar tapi Jia berontak sampai memukul dirinya juga wajahnya, masker yang di pakainya terlepas juga kacamata yang ia gunakan karena di tarik Jia tanpa sengaja, dan itu membuat gejolak emosinya menjadi keluar. Di gendongnya Jia pada bahunya. Seperti mengangkat karung beras.
Jia di hempas pada bed. Melihat Amat yang berdiri di hadapan dirinya, berbicara dengan tatapan lekat.
"Bukannya kamu lebih senang sama aku? Yaudah kita nginap di sini aja. Bilang lagi aja bohong sama mama kamu, kalo kamu nginap di rumah teman."
"Caca kan temenan ya udah sama kamu, dia aja jadi alasan kamu sayang."
Jia bangun mendorong keras Amat, berlari ke pintu kamar itu, tapi Amat lebih gesit menahan pintu kamar.
"Bang !" teriak Jia tertahan tapi Amat hanya menatapnya datar.
"Huek!"
Merasakan gejolak sesuatu dalam perutnya ingin muntah yang tiba-tiba. Jia menutup mulutnya, melenggang ke kamar mandi yang menjadi satu dengan kamar tidur itu.
Sekembalinya dari kamar mandi, Jia memutup pintu itu matanya sesaat terarah pada pintu kamar dengan fokus mata pada lobang kecil di bawah gagang pintu yang tidak ada di sana, bersamaan Jia menoleh kearah kanannya. Amat bersuara.
"Kuncinya di aku sayang nih"
Jia menatap jeli ke cowok itu yang berbaring di sana. Dengan memutar-mutarkan kunci di jemarinya.
"Mau lo apa ?"
Amat bangun dari rebahannya bersandar pada sandaran bed.
"Aku tanya balik mau kamu apa. Kenapa bisa mati'in pelacak padahal sudah jelas kamu setujuin itu aku pasang di ponsel kamu."
"Main kabur dari aku terus tau-tau sama cowok lain. Apa maksud kamu itu ?"
"Jangan-jangan kamu emang mau di perkosa sama cowok itu ?"
"Mending aku aja yang perkosa kamu sayang. Ke sini kamu."
Jia tak tahu harus berekspresi seperti apa, perkataan semua yang di lontarkan Amat menjadi satu kekesalan juga kesedihan di dirinya dan hanya bisa menghela nafas panjang dengan berekspresi tenang. Datar.
"Kamu yang ke sini, atau aku yang ke situ? Aku ke situ gak aku kasih ampun kamu sayang."
"Cepat sayang kita main sampai puas lagi."
"Sayang.."
Jia masih diam di tempat, entah kemarahan atau ketakutan di dirinya menjadi satu pula. Kedua tangannya terkepal kuat. Tapi entah kenapa pula jauh di dalam hatinya Jia gak bisa membenci cowok itu. Malah ia membenci dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jia
Ficção Adolescenteuntuk perempuan seperti aku, di sayangi karena keinginan bukan ketulusan seakan tak jadi masalah karena aku sendiri sadar bahwa ketulusan yang sebenarnya aku cari di kamu, ada di keberuntungan aku memiliki kamu. "Kamu berbeda dari lelaki lain" -wal...