14

12 6 0
                                    

Malam hari tiba. Di bangku taman itu sembari menatap bundaran jalan dan orang-orang juga kendaraan bermotor berlalu lalang, Amat menoleh ke Jia yang selesai dari bioskop berlangsung cewek ini hanya diam tak bersuara.

"Kenapa melamun." tegur Amat.

"Masih mikirin bapa aku ?" Amat menebak siapa tahu benar pertanyaannya.

Jia menoleh agak sayup dan menganggukkan kepalanya. Jia jadi menghela nafas, makanan yang ia pegang di sodorkannya pada Amat.

"Kamu di keluarga aku di terima dengan baik."

"Tapi aku ternyata belum tentu di terima di keluarga kamu." 

"Bahkan sama Rio, aku jadi gak enak."

Walau remang malam tak terlihat jelas wajah Amat, karena mereka yang duduk tak di bawah lampu taman. Jia menatapi lekat sebentar wajah Amat.

"Bang jujur deh, kam sebenarnya ada niatan gak buat nikahin aku ?"

"Bahkan kam sendiri gak ada bahas buat nantinya gimana? Di sementara kalau aku hamil lagi gimana?"

Melihat Amat yang diam membuat Jia menghela nafas. Kayak Jia tuh berpikir, gue kan cuma pemuas nafsu mana mungkin jadi istri dia? 

"Ya nanti aku tanggung jawab. Kita nikah."

Apa selama itu dia berpikir?

Jia berdecak jadi malas sendiri entah kenapa, ia bangkit dari bangku. Tangannya di cekal Amat.

"Mau kemana ?"

"Pulang."

"Mau pulang sekarang?"

Ekspresi Jia agak menyinis. Tapi memaksakan senyum tipis, "Pengen pulang aja."

Padahal dalam hati Jia ingin berkoar-koar pada Amat. Terlebih pada jawaban Amat yang tak memuaskan di terima hati Jia. Jia tentu saja berpikir sayangnya Amat ke dirinya sebatas feedback keinginan bukan ketulusan.

Ya bagaimana pun Jia sadar aja. Cowok itu butuh seks ya karena seks itu sendiri. Sedangkan cewek butuh seks karena ada rasa cinta dan keinginan lainnya, yang membuatnya butuh.

Dia dengan nafsunya dan Jia dengan duitnya. Feedback yang pas bukan untuk sama-sama saling sayang?

Tapi dari pihak Jia sendiri sayangnya dia bukan sebatas duitnya aja tapi sudah mencapai di luar keinginan, Jia sayang dengan ketulusan makanya mau terus melayani cowok seperti Amat.

Dan Jia tak ada berniatan mengatakan Amat sebagai cowok brengsek. Karena dua hal tentunya. Ia butuh Amat dan Amat itu berbeda dari cowok lain yang sayang -nya menggunakan nafsu.

"Bang gue mau nanya, kamu sayang aku gak ?"

"Ko nanya begitu lagi—"

"Kalo di tanya begitu juga langsung jawab aja."

"Iya aku sayang."

"Aku itu apa bagi kamu ?"

Amat mengerjabkan matanya sembari diam mencerna juga mengatakan jawaban yang pas. Walau nyatanya tetap salah di mata Jia. "Pacar aku."

Jia tersenyum hambar. Bukan jawaban yang di mau Jia. Itu jawaban kenyataan' dan Jia mau jawaban lebih dari kenyataan itu sendiri.

Seolah-olah jawaban itu hanya Amat ingin menjadikan dirinya pacar. Yang engga akan lebih dari itu. 

"Aku mau pulang sendiri." Jia menepis lengan Amat.

"Kenapa pulang sendiri? Kan kamu sama aku.."

Sebenarnya Jia tak tahu juga dengan moodnya ini. Maunya bagaimana. Tapi di matanya. Amat itu ia perlu benci untuk sekarang.

JiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang