09

11 4 0
                                    

"Azis." 

Yang dengan pas-pasan Jia langsung menyodorkan jaket itu. Azis awalnya bingung dengan jaket di sodorkan Jia namun setelah di lihatnya teliti itu jaket milik Amat.

"Kenapa gak lo sendiri yang ngasih?"

"Gak papa. Gue permisi ya." Jia langsung pergi tanpa sempat Azis setuju atau tidaknya.

Setelah Azis ingat pula dan bau parfum di jaket ini agak ubah bukan milik Amat melainkan Anya.

"Apa dia dapat langsung dari Anya?" pikir Azis. Terus sikap Jia yang seperti tadi, apa dia bakal marah sama Amat? Entah lah Azis gak peduli. Itu urusan mereka.

Sekembalinya lagi ke lantai kelas mereka, Azis menyimpang ke kelas sebelah untuk mengembalikan barang kawannya itu.

"Amat mana ?" tanya Azis kearah Otong. Cowok itu tengah duduk santai dengan sebelah tangan di taruh pada atas sandaran kursi sampingnya.

"Lo jangan nanya gue. Kalau kursinya kosong ya berarti gak ada bro."

"Gunakan ponsel lo untuk menelpon kalau penting."

"Salah gue nanya." gerutu Azis, pergi setelah sebelumnya menaruh jaket Amat sembarangan.

>

Jia mematikan layar ponselnya, lalu berjalan agak berlari saat rintik gerimis hujan itu mulai membasahi bajunya.

Jia agak maju mundur awalnya cuma ingin duduk pada bangku halte, karena ada sepasang sejoli yang tengah bertengkar kecil. Namun daripada bajunya semakin basah dan balik ke parkiran akan bertemu Amat, Jia memilih ke halte itu saja.

Mendudukkan bokongnya pada pinggiran bangku halte, Jia melirik sekali pada kedua pasangan itu lalu membuang muka. Menatap kearah rintik hujan, Jia berharap Amat tak mengenalinya atau melihatnya di sini.

"Kamu begitu biar apa? Meremehkan aku?"

"Mana ada aku meremehkan kamu."

"Aku selalu salah di mata kamu, begini salah begitu salah. Mau kamu apa hah!?"

"Ya kamu emang salah! Aku—"

"Jangan cuma kamu cantik doang sok-sokan badmood terus-menerus yang gak jelas penyebabnya kamu pikir aku gak capek ngadepin kamu hah?"

"Yaudah kamu mau putus—?"

"Yaudah putus. Siapa juga yang mau nerusin hubungan bangsat ini! Introspeksi diri lo. Kalau lo terus begitu gak ada orang yang mau sama lo bego!"

"Santai aja dong. Gak perlu kasar lo!"

Brem.brem..

Kepergian pacarnya dengan mengendarai motor itu membuat Caca menghembuskan nafasnya berat. Belum beres ia mengontrol emosi pandangannya langsung terarah pada cewek yang duduk termenung di ujung lirikan matanya.

"Puas lo?"

"Ngeliatin gue hancur berantakan?"

Jia tak ikut campur, tapi nyatanya dirinya yang diam saja duduk pada halte itu malah kena sembur.

"Lo pikir lucu? Lo rasanya dengerin pertengkaran gue sama cowok gue."

"Itu kan yang lo mau dan suka ?"

Jia mengerngit heran. Tatapan sudah berpindah pada Caca.

"Gue cuma neduh. Apa-apaan coba lo ga jelas."

"Alasan lo sialan!"

"Terserah lo lah. Mau lo hancur lo kata, gue gak peduli tapi gue ikut senang sih. Makan tuh karma!" tangkas Jia pelan dengan ekspresi datar yang di akhiri tersenyum manis, menyeringai. Setelah menaiki motor, dari bapanya yang datang menjemput.

JiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang