"Apa yang lebih sesak selain berusaha melepaskan dan melupakan orang yang di sayangi."
Tak.
"Dada sesak banget nangisin orang kayak kamu. Tapi apa kamu juga sama merasakan apa yang aku rasa.."
Tak.
"Aku gak percaya orang brengsek gak sakit hati.."
Tak.
"Apa kamu bisa kembali ke aku? Aku terlalu sayang. Dada aku sakit banget."
Tak.
Batu itu di lempar kesekian kalinya, setelah bergumam puas. Jia menghembuskan nafasnya lalu bersandar lagi pada sandaran bangku besi itu. Pandangan masih sama lurus dengan kekosongan menatap air di dalam kolam itu.
Semilar angin menghembus anak rambutnya, Jia hanya membiarkan sampai suara seseorang terdengar membuatnya kembali ke alam sadar dari lamunan. Jia menoleh.
"Hampir gak mengenali."
Jia tersenyum saja agak tipis dan beringsut memberi celah orang itu untuk duduk di sampingnya.
Jia lalu kembali menatap ke depan sembari membenarkan posisi anak rambutnya ke semula.
Rio. Lelaki itu melihat Jia dari penampilan cewek itu terlebih dengan gaya rambut hitam sebahu berpadu di bagian dalam rambutnya warna abu.
"Kemarin rasanya warna rambut lo merah udah ganti aja. Terus panjang, di potong pendek ya."
"Iya." jawab Jia cepat semestinya. Sebenarnya Jia agak risih dengan abang dari Amat ini, dan kenapa bisa tahu ia di sini juga seenaknya ingin mengobrol dengannya. Jia hanya ingin sendiri tapi tak enak pula kalau mengusir Rio ataupun dirinya pergi sembarangan begitu saja.
"Lagi sendirian aja ?"
"Iya." jawab Jia lagi. Jia menoleh agak terpampang sinis ke Rio dengan bersuara asalan. "Lama gak ada kabar, jangan-jangan udah beristri ya ?"
"Ngomong lo kayak biasa ya sembarangan."
"Masih sibuk kerja aja."
"Kenapa gak nyari cewek ?" tanya Jia. Lalu membuang mukanya dari Rio.
"Masih trauma kah?"
"Trauma?" ulang Rio.
"Hm. Kayaknya engga ya? Lo kan tipikal laki-laki yang gampang pura-pura menyukai wanita juga gampang membuangnya.."
"Maksud lo Jia?"
"Ya lo kan suka wanita, cuma mau buat di ajak sex sama mainin perasaan dia aja." lirih Jia lalu bersuara agak keras. "Gak ko gak papa. Cuma asal bicara aja,"
"Tadi lo—"
"Hehe maafin gue ya bang. Jadi merasa bersalah lagi gue." potong Jia cepat sebelum Rio membahas celetuk blak-blakkannya itu. Ya Jia hanya asal bicara, selebihnya fakta yang ia katakan.
Rio diam jadi mencerna perkataan Jia itu. Tak ingin membahas detail maksudnya bagaimana tapi ia agak memahami sedikit maksud kata Jia itu untuk dirinya. Mengabaikan saja Rio membahas hal lain.
"Lo gimana sama adik gue ?"
"Kenapa bisa sampai bertengkar begini."
Jia diam sesaat. Ia jadi benci Rio karena membahas yang seharusnya tak ingin Jia bahas tentang Amat dan dirinya.
"Gak tau."
"Ya wajar juga kan namanya pasangan pasti ada jeda, gak selalu baik-baik aja." balas Jia semestinya.
Rio memangut-mangutkan saja di balas bukan yang ia harapkan jawaban itu.
"Benar kan apa gue bilang lo bakal jadi korban dia aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jia
Teen Fictionuntuk perempuan seperti aku, di sayangi karena keinginan bukan ketulusan seakan tak jadi masalah karena aku sendiri sadar bahwa ketulusan yang sebenarnya aku cari di kamu, ada di keberuntungan aku memiliki kamu. "Kamu berbeda dari lelaki lain" -wal...