18

16 4 0
                                    

Lanjut ke 2 bulan, hubungan Jia dan Amat tampak seperti biasa setelah terakhir kali di UKS itu.

Jia mengira pula setelah kelulusan Amat, cowok itu akan ada membahas masa depan mereka mau bagaimana.

Tapi tak pernah ada, yang hanya keluhan sehari-hari dia dan cerita yang tidak menyangkut sama sekali kearah yang Jia inginkan sesuatu mengikat mereka.

Tunangan, lamaran, nikah atau apalah itu. Gak pernah ada di bahas kalau bukan Jia sendiri yang memancing. Seperti saat sekarang.

"Bang."

"Hm.." 

"Kam gak ada mau bahas nantinya gimana?"

"Maksudnya sayang?"

"Gak ada niatan mau nikahin aku ?" decih Jia to the point.

"Sabar ya sayang aku lagi nabung."

"Kan bisa tunangan. Cuma ngajak orangtua kamu ke orangtua aku, terus beli cincin yang semampu kamu juga gak papa."

Amat yang tengah selesai memasang pakaian menghampiri Jia. Berdiri di hadapan Jia yang duduk menjuntai di pinggiran ranjang.

"Bukannya udah aku kasih semua ini, kalung cincin gelang." Amat menunjuk pada perhiasan perak yang terpasang di diri Jia.

"Apa sih kamu, yang serius kenapa sih. Lagian yang kamu kasih ini cuma kita aja yang tahu. Mana bisa di sebut pengikat. Aku maunya di ikat resmi."

"Jangan-jangan kamu gak sayang lagi? Bosan kamu?" tukas Jia.

"Bukan gak sayang tapi aku belum siap.."

"Belum siap apanya?" tangkas Jia tak menyukai perkataan Amat itu. "Tapi kam itu selalu siap ngajak ngewe tiap minggu. Itupun kalau bukan 1 kali seminggu aja, ini lebih."

"Kalau aku hamil lagi gimana?"

"Ya tinggal.."

"Gugurin?" potong Jia tak sabaran, pula jadi kesal sendiri. "Mau aku tonjok kepala kam itu bang."

"Nih tonjok aja.." Amat malah dengan lempengnya mencondongkan kepalanya. Jia menjambak sekali dengan kuat. Sampai tak sadar yang dirinya memegang selimut, melorot yang membuat kedua miliknya di pegang dan remas oleh tangan cowok itu.

"Bang ah!"

"Gemas aku yang!" 

Jia berusaha menyingkirkan kedua tangan Amat dan mendorong cowok itu. Jia melirik Amat yang malah menyeringai dengan tawanya.

"Adil yang. Sayang kan jambak rambut aku barusan."

"Adil kepala lo pea." Jia membenarkan seperti semula selimut itu di peluknya.

"Kenapa juga gak di biarin aja, udah aku lihat juga puluhan kali." 

Jia berdecak ingin beringsut namun Amat menarik kursi max, menduduki kursi itu lebih dulu mengurung Jia di antara kedua betis Amat yang menekuk paha Jia.

"Kasih aku semangat yang. Masa tadi aku duluan yang bangun, kamu di bangunin malah marah-marah."

"Lagian aku bangun gak bangun juga kam asal mainin aja." sinis Jia yang malah mengimbangi lontaran kata Amat itu. Padahal ia ingin diam saja karena badmood.

"Lagi malas aja tadi. Kalau kamu gak sadar, gak asik yang."

Jia mendecihkan bibirnya. Karena bicara Amat itu yang gak sesuai dengan aksinya.

"Ayo ke sini." Amat menepuk pahanya.

"Lo kan udah mandi bang."

"Oh mau di imbangin ceritanya lo Jia ?" Amat menekan kata Jia. Jia sendiri yang mendengar malah kesal bukan panggilan yang sewajarnya di sebut Amat.

JiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang