07

15 5 0
                                    

Jia yang perlahan membuka matanya siuman, di khawatirkan semua yang ada di sana. Ingin rasanya menutup kembali matanya dan pura-pura tidur. Karena apa, yang pasti salah satu pertanyaan tentang kejadian tadi siang akan di pertanyakan padanya.

Terlebih saat lirikan mata Jia berkeliling, ia melihat seorang guru dan anaknya berada di samping ibunya. Ibu bk itu tersenyum menatapnya.

Semakin malas lah Jia. Bukan tak suka di jenguk guru masalah mereka semua yang ada di sini hanya akan membahas soal siang tadi.

"Jia." ucap Ibunya yang mendekati. Jia sudah mengalihkan pandangannya kearah lain, kepalanya memiring kan kearah tembok. Yang beruntung brankas rumah sakit itu di samping tembok bukan berada di tengah-tengah, jadinya Jia tak perlu melihat satu persatu dari mereka.

"Jia. Lihat ke sini, jangan gak sopan gitu. Ada guru kamu di sini."

Jia menggubris kata ibunya itu, dan pula tak peduli di karena ini adalah memang dirinya seperti ini.

Mau di pandang seperti apa Jia tak peduli, karena ia hanya membenci menjadi seperti bukan dirinya. Dalam artian harus menjadi orang lain, yang perlu di sukai seperti itu.

"Jia hei. Coba ceritakan kenapa kamu bisa sampai kayak gini."

"Ada masalah apa kamu mereka?"

Kan apa?

Jia tak menyahut memejamkan matanya saja. Menulikan telinga.

"Eh Jia jawab."

"Jia. Mama tanya di jawab. Biar tahu dan di selesaikan permasalahannya."

"Udah bu biarin aja. Kalau Jia gak mau cerita mungkin masih trauma dia." sela Ibu bk.

"Jia, kalau kamu gak mau cerita. Nanti kapan-kapan kalau kamu udah mau cerita, cerita ya biar tahu. Yang penting sekarang kamu sudah siuman itu sudah buat semua senang." ucap ibu bk itu lagi.

Jia hanya mendengarkan dengan mata memejam, kepalanya masih miring di arah tembok. Air matanya tak sadar keluar dari pelupuk matanya. Karena ingatan perkelahian juga masalah ini membuat namanya rusak di sekolah dan tentunya membuat keluarganya terlibat, itu yang Jia pikirkan.

Ibu bk berpamitan ingin pulang, di antar lah sama ibunya Jia. Di dalam ruangan itu ada bapanya, Nenek dan Amat. Sekawanan Amat sudah pulang beberapa menit selang keluarga Jia datang.

Nenek yang melihat Jia ingin bertanya juga namun akan percuma karena tak akan di balas oleh Jia, Nenek malah melirik pada Amat. Cowok itu pun juga menoleh dan melenggang pergi karena kode dari tatapan mata Nenek. Nenek juga pergi, yang Amat perkirakan Nenek ingin berbicara sesuatu.

Seperginya keduanya, Ibu Jia kembali masuk. Dan mengomeli Jia.

"Jia!"

"Kamu itu kenapa sih? Kalau di tanya di jawab. Ada guru kamu sampai jauh-jauh mau nengok kamu, kamunya malah kayak gitu. Gak sopan Jia."

"Ada masalah apa kamu sama mereka?"

"Sampai kayak gini. Untung ada Amat yang bayarin, kalau engga gimana? Duit dari mana kita dapat buat bayar kamu di rawat hah!?"

"Kamu itu sudah tahu kalau kita gak punya banyak duit. Harusnya menjaga sikap dengan orang-orang."

Jia mendesis menghapus air matanya dengan sebelah tangan yang tak terluka. Karena satu pergelangan tangannya yang kena tusukan, di pasang infus.

"Kenapa ?" ucap Jia sudah menghadapkan kepalanya kearah ibunya.

"Kenapa bawa polisi aja sekalian biar masuk penjara gue langsung. Iya Jia yang salah, Jia yang mulai. Semua aja salahin." tangkas Jia menangis. Tak bisa menahan sakit hati pada perasaannya.

JiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang