Langit malam masih menggantung, bulan juga masih menyinari, awan rupanya tidak berniat menutupi cahayanya membuat Sedah mampu melihat wajah Mahapatih dengan jelas. Mangga ditangannya sudah habis, Sedah tidak pernah merasa sepesial seperti ini hanya karena memakan mangga.
Kalau dijadikan sebuah buku, mungkinkah judulnya akan seperti ini: Bersama Mahapatih Makan Mangga di Tahun 1357.
Tanpa sadar Sedah tertawa membuat Mahapatih Gajahmada yang masih duduk di sampingnya sempat terkejut kaget. Sedah yang melihat wajah kocak Gajahmada tawanya bertambah membuncah, tanpa peduli wajah siapa yang sedang ia tertawakan.
"Ada apa denganmu, Adinda?"
"Maaf yang Mulia, hamba bersalah."
Menetralkan wajah, Gajahmada masih menatap Sedah.
"Hem, Adinda." panggil Gajahmada.
"Iya?"
"Jika sedang berdua seperti sekarang kau boleh memanggilku."
"Kangmas? Kakanda? Aku mendengar Tungga memanggil suaminya seperti itu saat di istana tadi. Tapi kan yang Mulia bukan suamiku," sela Sedah di saat Gajahmada masih bicara.
"Seperti ini, Kangmas?"
Gadis itu menyengir tanpa tau jika jantung Mahapatih Gajahmada menggila di dalam sana sampai Sedah bisa melihat pria dewasa itu meraba dadanya. Bersamaan dengan itu, Sedah menghentikan tawanya dan tak sadar menggapai sebelah tangan Gajahmada, memastikan pria itu.
"Maaf yang Mulia," ujarnya.
"Mengapa Adinda minta maaf?"
"Karena aku sudah tidak sopan memanggilmu seperti itu."
Membalas genggaman tangan Sedah, Mahapatih menatap ke dalam bola mata gadis di depannya. Mendalami jiwa menenangkan di dalam sana, paras ayu milik Sedah mampu menggetarkan jiwa raganya dan melihat tetesan air yang keluar dari sudut mata Gajahmada membuat Sedah terkesiap melihatnya. Mahapatih Gajahmada menangis di depannya?
"Aku sungguh merindukanmu, Adinda."
"Yang Mulia?"
"Ratusan purnama aku menunggumu."
Terdiam, hanya itu yang mampu Sedah lakukan. Ia masih tidak mengerti, bahkan kedatangan ke tempat ini jelas membuatnya pusing jika saja ia tidak mencoba menerima dan bertemu dengan Dawuh yang mau berteman dengannya dan membawanya mengenal negeri ini mengingat Ayah hampir tak pernah pulang dan bertugas di istana sebagai bala tentara Majapahit: Bhayangkara.
"Aku tak hidup di jaman ini yang mulia."
Menunjukkan bukti, Sedah mengeluarkan sesuatu dari lipatan kain jarik di pinggangnya, memperlihatkan sebuah benda pipih berteknologi canggih ke hadapan Gajahmada.
"Benda apa itu, Adindaku?"
"Gawai."
"Aku baru pertama kali melihatnya."
Sedah terkekeh kecil kemudian menyalakan ponselnya.
"Aku tak paham karena baterainya tak berkurang padahal aku terus memakainya apalagi malam, disini tak ada sinyal internet, dan lebih herannya lagi waktu tak berjalan."
Mengarahkan ponsel pada Gajahmada dan cekrek!
Sedah tertawa ringan karena pria di depannya ini melindungi wajahnya dari silaunya cahaya kamera, menatap penuh penasaran, Gajahmada mengintip apa yang Sedah lakukan sampai gadis cantik itu memperlihatkan hasil jepretannya.
"Ini coba lihat."
"Itu aku?"
Menahan senyum, Sedah mengangguk, "iya yang Mulia."
"Rupanya aku sangat tampan," ujarnya.
"Baru tau?" gumam Sedah, mungkin saja Mahapatih tidak pernah bercermin mengingat betapa sibuknya pria itu.
"Juga gagah," kembali berujar, Sedah mendelikkan mata.
Agaknya ia sedikit menyesal telah mengambil gambar Mahapatih meski ia pun tidak bisa memungkiri jika pria dewasa dengan wangi menenangkan ini memiliki rupa tampan dan gagah ditambah luka-luka kecil lama yang membuktikan jika dirinya adalah pria perkasa yang tangguh dengan perjalanannya sebagai Mahapatih Majapahit.
"Yang Mulia?"
Mendengar suara pasukan kuda berlari, Sedah buru-buru menyembunyikan benda satu-satunya yang ia bawa dari masa depan selain sandal kemudian turut beranjak mengikuti Mahapatih yang tiba-tiba mengambil obor dan mematikannya, menarik tangan Sedah untuk bersembunyi.
"Siapa mereka?"
"Sepertinya pemberontak."
"Mengapa tidak yang Mulia lawan?"
"Aku tidak mungkin menghadang mereka disaat diriku bersama dirimu, Adinda."
Mahapatih Gajahmada memandang Sedah sekilas sebelum kembali memusatkan perhatiannya pada segerombolan pria-pria berpakaian hitam yang melintas di depan mereka.
Bilang aja gak berani.
"Aku bisa mendengar suara hatimu."
Sedah memandang Gajahmada, menaikkan sebelah alis.
"Apa?"
"Aku bisa mendengar suara hatimu, kekasihku."
"Huh, main kekasih-kekasihku aja! Pasangan bukan."
Sedah bergumam sembari berdiri setelah lama berjongkok dibalik semak-semak tinggi hingga sekelebat anak panah melintas di depannya, dengan mudah Gajahmada menangkapnya dan mematahkan anak panah itu, Sedah nampak kaget terbukti matanya masih melotot. Bayangkan saja benda tajam itu melintas tepat di depan dan menggesek pangkal hidung bangirnya. "Adinda, hidungmu? Coba kulihat."
"Tidak apa-apa, tenang aja."
Aslinya sakit.
"Trengginas, kau melukai kekasihku!"
"Mohon ampun yang Mulia."
Sedah berbalik menatap para Bhayangkara turun dari kuda kendati melihat mereka salah sasaran. Melihat sang Ayah, Sedah berlari ke arahnya, melingkarkan sebelah tangan pada lengan Trengginas tak peduli dengan hidungnya membuat Gajahmada hanya mampu terdiam melihat interaksi keduanya. Seperti ada gejolak tak biasa dalam dadanya.
"Sedang apa disini?"
"Patih Mada mengajakku makan mangga di lapangan sana."
"Mangga?" tanya Trengginas heran.
Sedah mengangguk, "iya mengambil di pohon sana!"
"Ekhem."
Mahapatih Gajahmada berdeham membuat Trengginas memohon ampun padanya. Sedah yang berdiam di samping Trengginas terpaksa kembali mendekat pada Gajahmada. Ia juga tidak mungkin ikut dengan sang Ayah disaat Trengginas dan pasukannya mengejar para pemberontak.
"Boko, antarkan Sedah pulang. Aku percaya padamu."
Bhayangkara bernama Boko itu dengan patuh mendengar ucapan Mahapatih Gajahmada, mengajak Sedah untuk pulang dan ia akan pergi bersama Trengginas mengejar para pemberontak yang pergi ke arah barat. Sedah menatap punggung Gajahmada, pria itu bersama pasukan Ayahnya melangkah pergi dan suara kuda berlari semakin menjauh.
"Mari," Sedah sempat tertegun, nada bicaranya tak sopan.
Sedah mengikuti langkah Boko, Bhayangkara yang akan mengantarkannya pulang atas suruhan Mahapatih itu.
"Jangan karena nyai cantik bisa mengelabui Mahapatih."
"Maksudmu apa?"
"Kau rupanya tidak tau sumpah Palapa beliau ya."
🌾
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT MAJAPAHIT
Fantasi❝Sudah lama tidak bertemu, apa kabarmu, Adinda?❞ Terbangun di antah berantah dengan luka di sekujur tubuh membuat seorang gadis kebingungan, seingatnya ia berada di rumah sang Eyang, membereskan gudang bersama sepupunya, menemukan buku model lama de...