•Nembelas

4K 419 7
                                    

Setelah berpanas-panasan menapaki kaki di situs Kumitir yang berhasil membuat Mahapatih meneteskan air mata. Kelimanya kembali ke rumah di waktu sore, Sedah paling terakhir mandi ketika ia baru saja selesai menyiapkan baju untuk ketiga manusia fosil yang bersamanya ini.

"Adinda."

"Ya?"

Sedah melongokkan kepala ketika suara Mahapatih Gajahmada terdengar. Pria itu berdiri di ambang pintu sebelum masuk ke kamar Sedah, untungnya gadis itu sudah memakai baju.

"Ada apa, Kangmas?"

"Tidak."

"Lha."

Sedah menatap diri di pantulan cermin, ia menajamkan mata ketika tak melihat Mahapatih disana. Sedah berbalik dan menatap pria itu masih duduk. Ketika Sedah melihat lagi ke cermin, ia terlonjak sampai berjalan mundur membuat Gajahmada yang melihat itu membantu Sedah berdiri dari duduknya.

"Ada masalah, Adinda?" tanya Gajahmada.

Sedah menggelengkan kepala, ia tidak mau menjelaskan meski teramat penasaran mengapa Mahapatih tidak ada di pantulan cermin. Namun, ketika Sedah kembali melihat ke sana, sekarang ada. Jelas sekali, Mahapatih ada di dalam pantulan cermin. Apakah ia hanya sedang lelah?

"Tidak, kangmas."

Keduanya berjalan keluar dari kamar meski Sedah merasa ada yang aneh. Ia menatap wajah Mahapatih lamat-lamat membuat pria itu membalas tatapannya.

"Kau terlihat tak nyaman."

"Tidak, Kangmas. Hanya perasaanmu saja mungkin."

Padahal tanpa bertanya memberitahu pun, Gajahmada tau dengan apa yang baru saja Sedah lihat. Ia tersenyum kecil menyadari jika permaisurinya itu tak ingin membuatnya tersinggung.

"Aku memang sudah mati di jaman ini, bukan?"

Mendengar apa yang di ucapkan Gajahmada, Sedah menatapnya kemudian terkekeh, "sudahlah, ayo makan."

Ketika berjalan menuju meja makan, rupanya semua orang sudah ada di sana. Ketika melihat siapa yang datang, Mpu Prapanca dan Dawuh menunduk pada Mahapatih, bergumam selamat malam yang Mulia, membuat Chika mengerutkan keningnya begitupun dengan Eyang putri.

"Kami tak bisa duduk di satu tempat yang sama."

Mpu Prapanca beranjak di ikuti Dawuh, namun Sedah menahan keduanya agar tidak duduk di lantai. Begitupun dengan Gajahmada, ia tidak apa-apa lagi pula, sudah Sedah bilang, ini adalah dunianya bukan di Majapahit.

"Mas Mada, punya nama lain, ya?"

Chika bertanya seraya menelengkan kepalanya pada pria yang Sedah suruh untuk memakai piyama saja. Motif bulan bilang warna biru dongker terlihat sangat lucu ketika di pakai pria dewasa itu.

"Tidak ada," jawabnya singkat.

"Terus itu tadi apa yang Mulia," ujar Chika lagi.

Sedah menyentuh tangan Chika, "gak usah di pikirin."

"Okay, mbak. Kuping aku salah denger kali, ya."

Sedah tersenyum kemudian menganggukkan kepala dengan apa yang di ucapkan Chika, padahal benar gadis itu tidak salah dengar dengan apa yang Mpu Prapanca katakan.

Sementara Mbah kakung hanya mampu tersenyum sebelum mempersilahkan semuanya untuk makan. Sedah sedikit berdiri dari duduknya, menyiapkan makan untuk Mahapatih dan Dawuh yang selalu saja merasa tak enak. Sementara Mpu Prapanca? Biarlah ada Chika yang mengurus.

Katanya ganteng tapi botak.

Berkharisma tapi ndeso!

"Nduk, kamu gak balik lagi ke Mojokerto 'kan? Chika mau lanjut kuliah di luar kota, rumah jadi sepi."

Eyang putri menjadi orang paling pertama ketika meja makan terasa sepi. Mahapatih Gajahmada yang memperhatikan sendok besi yang ia pakai juga sedikit terkejut mendengar apa yang nenek Sedah ucapkan, "enggak tau, eyang."

"Gak usah kerja, kan ada suamimu."

Sedah terdiam dan ia bisa menyimpulkan jika ketiadaan Sedah beberapa bulan lalu membuat eyang putri berpikir jika dirinya kembali ke Mojokerto dan bekerja sebagai petugas Museum. Padahal ia telah melakukan perjalanan waktu yang sulit di terima dengan akal.

"Nanti Sedah pikirin ya, eyang."

Setelah makan malam, Sedah beranjak dan duduk di pendopo, sendirian. Ia dilema, memikirkan banyak hal. Tak lama Dawuh datang dan duduk di dekatnya, teman pertama yang ia miliki di Majapahit itu tersenyum pada Sedah.

"Kau terlihat memiliki banyak beban."

Mendengar itu, Sedah tertawa kecil, "tidak juga."

Tak hanya Mahapatih yang terlihat lucu karena memakai piyama dengan motif bulan bintang, Dawuh juga sama, gadis itu memakai piyama beruang miliknya meski jujur Dawuh terlihat lebih anggun ketika memakai lilitan kain jarik.

"Kau akan ikut kembali ke Majapahit bersama kami?"

Sedah menatap Dawuh kemudian menggelengkan kepala.

"Entahlah, rasanya sangat membingungkan."

Ketika Sedah selesai bicara singkat itu, Dawuh melihat Mahapatih mendekat dan beranjak dari sana setelah menunduk sopan kemudian pergi. Sedah yang tak menyadari jika Dawuh pergi pun cukup kaget ketika merasa seseorang mencium bahunya. "Kangmas, aku kaget."

Keduanya sempat terdiam beberapa menit, Sedah memberanikan diri untuk menaruh kepalanya di sebelah bahu Mahapatih dan setengah memeluk tubuh prianya.

"Aku ingin bersamamu."

Mengusap rambut Sedah yang terurai, Gajahmada terdiam.

"Melakukan perjalanan waktu memang menyenangkan tapi kita telah melanggar ketentuan, Adinda. Bagaimana jika kau tidak bisa kembali ke masa depan, apakah kau akan siap?"

Mendongak dan menatap wajah Mahapatih, Sedah menghela nafas. Dengan keyakinan hatinya Sedah menganggukkan kepala dan menjawab dengan seyakin-yakinnya.

"Aku siap."

"Aku tak memiliki apapun jika tinggal disini."

Sedah menelengkan kepala dan Gajahmada terkesiap.

"Maksudku, jika di Majapahit, setidaknya kau akan aman."

" ... Aku bisa melindungimu, sepenuh hatiku, Adinda."

Ucapan Mahapatih membuat Sedah kembali tersenyum, ia menelesak memeluk tubuh pria yang ia sayangi ini. Andai pertemuan mereka lebih bisa di terima akal, mungkin Sedah ingin memamerkan pria gagahnya ini pada dunia.

Ketika lama saling berpelukkan, Mpu Prapanca berlari dari dalam rumah membuat Sedah maupun Gajahmada menoleh padanya. Mpu Prapanca yang menyadari Mahapatih dan permaisurinya ada di pendopo, menundukkan kepala.

"Ada apa, Mpu?"

"Aku mencium harum Maharaja di sekitar rumah ini."

Mahapatih Gajahmada turut beranjak dari duduknya, bersamaan dengan itu suara dari luar mengagetkan ketiganya.

"Kebakaran!"

Sedah menunjuk bungbungan api di sebelah timur, tak besar namun riuh orang-orang cukup membuatnya penasaran.

"Sepertinya yang Mulia Maharaja ada disini."

🌾

Hai, gak sadar 10 hari gak update disini.

Maaf ya

LANGIT MAJAPAHITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang