•Nemlikur

649 95 14
                                    

Tak pernah Sedah bayangkan kalimat itu akan terucap dari mulut Gajahmada. Rasanya Sedah tidak menyukai siapapun disini, meskipun begitu ia tetap merasa senang karena rupanya Mahapatih cemburu karena dirinya sempat bersitegang dengan Maharaja meski Gajahmada tidak mengeluarkan ekspresi berlebih jikalau dia merasa iri hati. Bagaimana pun Hayam Wuruk rajanya dan jika Sedah akan jatuh cinta pada pria itu, Gajahmada tak bisa apa-apa selain menerima dengan kerendahan hatinya.

"Jangan angkat kain jarikmu, Adinda."

Sedah berjalan cepat dan Gajahmada mengejarnya.

Tapi Sedah tidak mendengarkan, perempuan itu berjalan lurus melewati orang-orang yang berlalu lalang di luar kerajaan. Aktivitas yang mungkin akan Sedah rindukan jika ia mampu pergi dari Majapahit meski tak ingin.

"Kau marah padaku, ya?"

Sedah menoleh ke belakang, Gajahmada tersenyum.

"Pikir aja sendiri."

Mendengus kesal dan melanjutkan langkah, Sedah berjalan menjauh, meninggalkan Gajahmada yang senyumnya menghilang bersamaan dengan Sedah yang sudah menghilang ditelan keramaian.

"Dia terlihat marah, tapi mengapa?"

Wush!

"Ash!"

Gajahmada mendesis kesakitan tatkala sebuah belati mampir di lengannya, ia hampir terjatuh. Para warga yang sempat melihat kejadian itu lantas mendekat pada Mahapatih padahal pria itu hendak mengejarnya jikalau orang-orang tak mengerubungi dirinya. Untungnya, Bhayangkara yang juga berada disana mengejar sang pelaku.

"Yang Mulia kau berdarah!"

Orang-orang berseru khawatir, juga penasaran siapa gerangan pelaku yang berani-beraninya menyerang Mahapatih Kerajaan siang-siang bolong seperti sekarang. Gajahmada mengangkat sebelah tangan, memberikan gestur jika luka yang ia dapat hanya sapuan belati saja.

Mata Gajahmada mengedar, mungkin saja si pelaku berbaur dengan keramaian. Di saat seperti ini, Gajahmada memikirkan Sedah yang berjalan sendirian tanpa di dampingi siapa pun, ia teramat takut jika perempuan itu terluka.

"Mari yang Mulia, hamba obati."

"Tidak perlu, Kisanak. Terimakasih."

Membelah kerumunan orang-orang yang penasaran terhadap dirinya setelah mengambil pisau belati yang sempat mampir di lengannya, Gajahmada melangkahkan kaki menjauh, membiarkan luka di tangannya menganga serta darah mengalir cukup deras dari sana. Baginya, luka ini hanya luka kecil, tak sebanding dengan luka yang ia dapat terdahulu.

"Adinda?!"

Perjalanan menuju rumah tak banyak memakan waktu, tapi Gajahmada tak menjumpai Sedah di rumah. Mbok melotot terkejut ketika Mahapatih pulang dengan keadaan terluka, bukan sekali dua kali memang hal ini terjadi tapi tetap saja nenek yang bekerja di rumah Gajahmada masih sering kaget.

"Apa yang terjadi yang Mulia?"

Gajahmada menggelengkan kepala, "tidak ada masalah."

Hanya itu yang Gajahmada katakan, lagi pula ia belum tahu dalang dibalik pelaku penyerangan dirinya beberapa menit lalu. Mungkin sebentar lagi Bhayangkara akan memberikan informasi terkait siapa manusia dibalik kain hitam yang hampir menutupi seluruh wajahnya itu.

"Tunggu disini, hamba ambilkan ramuan."

Gajahmada menurut, ia duduk di bale-bale kayu jati. Rasanya ia tak asing, namun dirinya tak bisa menebak siapa pelaku yang melemparkan pisau belati padanya.

"Aku tak pernah melihat ukiran pisau seperti ini."

Si Mbok muncul lagi, wanita tua itu membawa cawan berisi air, obat herbal yang selalu dikirim tabib kerajaan ke rumah, membawa kain bersih guna membersihkan luka Gajahmada dengan darah yang masih mengalir lambat.

LANGIT MAJAPAHITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang