•Pitu

3.4K 391 6
                                    

Aktivitas warga senantiasa menjadi pemandangan yang tak pernah Sedah bayangkan sebelumnya, berkumpul di antara penduduk Majapahit di ibu kota, Trowulan. Di masa depan, ibu kota Majapahit menjadi kota Mojokerto, ada wisata sejarah disana dan Sedah jelas pernah berkunjung kesana.

Jauh sebelum Nusantara menjadi Indonesia, Majapahit menjadi salah satu kerajaan Hindu-Buddha. Penduduk disana memiliki mata pencaharian sebagai petani dan nelayan.

Melewati keramaian ibu kota, Sedah menarik tangan Mahapatih Gajahmada. Ia teramat geram, jelas saja karena mendapati pria penting di sejarah Majapahit itu mengintipnya sedang mandi bersama Dawuh di sungai tengah hutan.

Para Bhayangkara yang melihat itu hendak menghentikan aksi Sedah yang terlampau berani namun dengan cepat, Gajahmada mengangkat sebelah tangan agar mereka membiarkan seorang gadis di depannya membawanya berhadapan dengan Hayam Wuruk yang tengah berdiri dengan penasihat kerajaan bertanya-tanya.

"Ada apa ini, Patih?"

Sedah mampu merasakan tarikan di kain jarik yang ia kenakan, Dawuh dengan wajah pucat pasi menggelengkan kepala agar mereka pergi saja dari kerajaan. Namun Sedah tak ingin pergi, ia masih merasa tidak terima dengan mata nakal Mahapatih yang seenaknya. Sedah berlutut, menghadap Maharaja dan ingin melaporkan sang Patih.

"Kau tadi bersamaku dan ada apa sekarang?"

"Hanya kesalahan kecil yang Mulia," ujar Gajahmada.

Mendecakkan lidah, Sedah mendongak menatap si pelaku dan mencubit kecil betis sang Patih membuat Gajahmada menahan kesakitan. Sedah jelas tidak terima, kesalahan kecil macam apa ini. Jelas-jelas Gajahmada mengintipnya mandi.

"Sedah, sebaiknya kita pulang saja," cicit Dawuh.

"Tidak, aku harus mendapat keadilan dan Patih Gajahmada harus mendapatkan hukuman setimpal agar dia jera, Dawuh."

Tanpa merasa dosa Gajahmada tersenyum mendengarnya.

"Jangan tertawa, yang Mulia sudah merendahkan hamba."

"Merendahkan? Kalian tidak ingin menjawab pertanyaanku."

" ... Apa apa, nyai? Kau terlihat kesal pada Patihku?"

Mendengar Maharaja, Sedah menatap sejenak wajah Hayam Wuruk sebelum menjawab. Ia mencubit betis Gajahmada lagi karena menyadari pria itu kembali tersenyum, tak berdosa.

"Hamba dan Dawuh mandi di sungai tengah hutan dan menyadari jika ada pria yang mengintip kami dari kejauhan. Bukan kah itu perbuatan tidak terpuji yang Mulia Maharaja?"

"Menurutku itu tidak ada salahnya, nyai."

Mendengar Hayam Wuruk, Sedah mengepalkan tangan.

"Mohon ampun yang Mulia, apa maksud yang Mulia?"

"Kau permaisuri Patihku nyai Sridara."

"Nama hamba Sedah yang Mulia, bukan Sri- siapa itu?"

"Kau memang permaisuriku, Adinda," ujar Gajahmada.

Melihat Hayam Wuruk membalikkan tubuh hendak pergi, Sedah mengejarnya membuat Dawuh yang sejak datang ke kerajaan melototkan mata. Menangkup kedua tangan di depan dada, Sedah memohon agar Gajahmada segera di adili.

"Hamba berani bersumpah yang Mulia, hamba bukan seorang permaisuri Mahapatih. Hamba hanya perempuan kaum Sudra yang suaranya ingin didengar, Mahapatih itu sudah lancang-"

"Kau permaisuri Patihku, nyai. Memangnya seorang suami tidak boleh melihat kemolekan tubuh istrinya sendiri."

Setelah itu Maharaja berlalu bersama seorang penasihat.

LANGIT MAJAPAHITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang